Friday, November 21, 2025

Mati Upah Dosa?

Pada Kamis 20 November 2025 saya diminta salah satu keluarga untuk memimpin Misa Peringatan 7 harswafat seorang bapak. Kebetulan saja almarhum adalah sesama alumni SMA dengan aya. Saya kelas I ketika almarhum kelas III. Ketika wafat almarhum dalam berita lelayu tertulis berumur 78 tahun.  Entah bagaimana, karena tak tahu bacaan apa dari Kitab Suci yang akan dipakai dalam Misa, pikiranku terarah pada yang namanya kematian. 

Yang Mati Tubuh?

Peristiwa kematian pada umumnya dikaitkan dengan keputusan medis berdasarkan berhentinya keaktivan organ jantung. Kemudian orang sibuk perawatan jenazah dari memandikan hingga mendandaninya. Urusan peti juga masuk dalam kesibukan. Tirakatan hingga doa dan ibadat menyusul. Bahkan sesudah pemakaman doa-doa peringatan arwah juga masuk menjadi agenda. Untuk orang Jawa peringatan arwah bisa terjadi pada hari ke 3, ke 7, ke 40, ke 100, setahun, 2 tahun, dan 1000 hari dari saat wafat almarhum.

Bagi saya yang bisa menjadi soal adalah kalau sebagai murid Kristus mendalami iman berdasarkan Kitab Suci. Santo Paulus pernah berkata bahwa “upah dosa ialah maut” (Rom 6:23). Itu berarti dengan berdosa orang akan mati. Tetapi ternyata dari pengalaman, saya sudah berulang kali melakukan dosa baik kecil maupun besar. Bukankah setiap kita juga mengalami berdosa dan berdosa? Bukankah sekalipun sudah mengaku dosa kita mudah berdosa lagi. Mengapa kita masih belum mati bahkan masih berdoa untuk yang wafat? Apalagi kalau kita membaca kisah ketika Adam dan Hawa menjalani dosa dengan melanggar perintah Allah karena makan buah larangan. Allah sudah bersabda “Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati” (Kej 3:3). Itulah dosa, yaitu melakukan yang berseberangan dengan kehendak Allah. Kalau melanggar ada konsekuensi kematian. Ada yang menjelaskan bahwa itu adalah kepastian yang segera terjadi. Tetapi setelah berbuat dosa Adam masih hidup bahkan dalam Kitab Suci dikatakan “Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya. Umur Adam, setelah memperanakkan Set, delapan ratus tahun, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan” (Kej 5:3-4).

Ternyata orang-orang, yang dikisahkan dalam Kitab Suci sebagai pendosa, amat banyak yang tetap punya tubuh hidup. Bahkan Santo Paulus pernah berkata bahwa “semua orang telah berbuat dosa” (Rom 5:23). Dari Kitab Kejadian kita dapat membaca bahwa yang berumur hingga ratusan tahun tak hanya Adam. Dalam Kitab Kejadian bab 5 saya menemukan umur-umur mereka : Adam 930 tahun (ay. 5), Set 912 tahun (ay. 8), Enos 905 tahun (ay. 11), Kenan 910 tahun (ay. 14), Mahalaleel 895 tahun (ay 17), Yared 962 tahun (ay. 20), Henokh 365 tahun (ay. 22-24), Lamekh 777 tahun (ay. 31). Di lain bab Noh berumur 950 tahun (Kej 9:29). Katanya yang tertua adalah Metusalah, yaitu 969 (Kej 5:27). Sebagai murid Kristus saya harus memahami bagaimanakah kematian sejati sesuai dengan firman Tuhan.

Manusia Sepenuhnya

Yang diomongkan di atas adalah tentang kematian yang hanya dikaitkan dengan tubuh. Kematian yang hanya seperti itu juga ada pada hewan. Bahkan matinya pohon juga bisa disebut sebagai hilangnya daya batang tubuh termasuk anggota-anggota. Kesejatian manusia tak bisa hanya dikaitkan dengan tubuh. Santo Paulus mengatakan bahwa manusia sepenuhnya tak hanya bisa dimengerti dari bagian tubuh. “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita” (1Tes 5:23) demikian kata Santo Paulus. Orang sungguh manusiawi kalau dalam dirinya ada kepaduan roh, jiwa, dan tubuh”.

Roh kunci hidup

Sebagai salah satu ciptaan, Allah menciptakan manusia dengan martabat jauh melebihi ciptaan-ciptaan lainnya. Saya pernah membuat catatan penciptaan sebagai berikut :

Dalam Kej 1 Allah menciptakan segalanya dengan firman-Nya. Dalam hal ini ada perbedaan mencolok di antara manusia dan ciptaan lain. Ciptaan-ciptaan lain terwujud begitu saja ketika Allah berfirman (lihat ayat 3.6.11.14.20.22.24). Tidak demikian ketika Allah menciptakan manusia. Sebelum manusia jadi Allah berfirman ""Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" (ay 26). Selanjutnya Kitab Suci menyatakan "Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka" (ay 27).

 

Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar-Nya. Inilah kekhasan dan bahkan hakikat manusia yang tak dimiliki oleh ciptaan-ciptaan lain. Manusia sebagai gambar Allah dipahami dengan merujuk kisah peciptaan dalam Kej 2. "TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup." (ay 7) Manusia memang berasal dari debu tanah. Namun demikian debu tanah ini menjadi makhluk hidup karena Tuhan memasukkan nafas-Nya ke dalam manusia, sehingga dalam diri setiap orang terdapat hembusan nafas Tuhan.

Kekhasan hidup manusia ada dalam daya roh yang membuatnya menjadi gambar Allah. Maka kesejatian setiap orang sebagai manusia adalah sebagai bait Allah. “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1Kor 3:16). Dari sini bisa dipahami kalau landasan hidup manusia ada dalam keterbukaan hidup bersama Roh Allah yang bagi saya bertahta dalam relung hati. Kalau saya selalu menjaga keterbukaan dengan relung hati, itu berarti menjaga kehidupan roh saya untuk tetap ada bersama dengan Roh Allah. Kalau saya tetap menjaga relung hati berhubungan dengan kehendak Allah, saya mengalami kesejatian hidup. Tentu saja yang adalah hidup roh saya sepenuhnya termasuk jiwa dan tubuh. Jiwa saya akan didominasi oleh cahaya keceriaan sejati (bukankah ini Injil?), dan tubuh akan mengalami kesegaran dalam kondisi apapun. Tetapi kalau saya ada dalam keadaan dosa, abai atau berseberangan dengan kehendak Roh Allah yang berdengung dalam relung hati, matilah roh saya. Jiwa kehilangan cahaya sehingga mengalami kegelapan. Perilaku tubuh bisa ngawur kehilangan pegangan yang menghadirkan damai sejahtera. Kematian sebagai upah dosa membuat orang mencari ruang dan kesempatan yang bisa membuat orang melihat kekeliruan, kesalahan, atau apapun yang bisa membuat dirinya tak berharga di mata orang lain. Hidup adalah cahaya roh atau nurani yang menerangi jiwa dan terungkap serta terwujud dalam perilaku tubuh yang segar ceria dan menyegarceriakan banyak orang lain. 

Sempurna dan Tak Bercacat dalam Kristus

Dosa tak hanya melukai kemanusiaan seseorang. Dan dosa terutama memisahkan orang dengan Allah. Keterpisahan inilah kematian sejati. Tetapi ternyata Allah tak menghendaki keterpisahan atau kematian manusia yang ditentukan menjadi gambar-Nya. “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8). “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16) Kesejatian hidup bagi kita adalah hidup kekal, yaitu hidup yang mengalir dari keterbukaan kita untuk ada bersama dengan Allah. Kehidupan kekal, atau hubungan hati dengan Allah, kita alami sejak masih berada di dunia fana. Inilah hidup beriman dan iman adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1).

Bagi kita Tuhan Yesus adalah segala-galanya untuk kita. Tuhan Yesus bersabda “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Dalam Yesus kita bisa berharap menjadi manusia sepenuhnya yang mengalami damai sejahtera. “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita” (1Tes 5:23) kata Santo Paulus. Damai sejahtera yang menguduskan itu bagi saya terjadi dalam Kristus sebagai ketaatan iman. Kitab Suci mencatat penyaliban Tuhan sebagai puncak penghayatan hidup di dunia, yaitu “sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya” (Ibr 5:8-9). Dalam permenungan saya mencoba meraba-rama untuk mengetahui apa isi ketaatan iman dalam roh, jiwa, dan tubuh saya :

  •  Dalam roh. Ketaatan iman yang mengalir dalam roh bagi saya adalah kasih. Ini adalah tuntutan utama sebagai pengikut Tuhan Yesus yang bersabda “semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35).
  • Dalam jiwa. Sejauh saya pahami ranah jiwa adalah kebutuhan batin yang berupa motivasi, pemahaman, dan ketulusan. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp 2:5) demikian kata Santo Paulus. Dengan meneladan Kristus kita akan memiliki motivasi sejati yang kuat, tekun, dan terarah pada hal baik dan mulia. Selain itu pikiran dan perasaan kita akan membuat kita seperti Bunda Maria dalam menghadapi realita hidup, yaitu biasa “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19).
  • Dalam tubuh. Manusia sepenuhnya adalah gambar Allah. Selain ada tuntutan taat dalam roh dan taat dalam jiwa, orang beriman juga dituntut taat dalam realita tubuh. Orang akan sungguh mengalami damai sejahtera kalau menghayati tubuh dalam kepaduan dengan roh dan jiwanya. Dalam beriman orang akan semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup. Ungkapan dan wujud ketaatan dalam tubuh harus memperhitungkan perkembangan usia dan perubahan kondisi nyata dari tubuhnya. Orang akan menjaga agar tubuh menghadirkan kehidupan yang sungguh damai bahagia sekalipun ada kondisi derita misalnya karena sakit.  

Dari paparan itu saya menyadari bahwa landasan hidup atau mati seseorang tergantung pada olahan hidup rohaninya, yaitu penjagaan kebersatuan diri terbuka pada Allah. Penjagaan ini akan menyuburkan penghayatan kasih yang membuat orang punya jiwa terlibat demi kebaikan umum. Kesemuanya akan sungguh terungkap dan terwujud dalam perilaku seseorang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi hidupnya. Kalau dalam realita masih ada dosa dan perilaku buruk dan jahat yang menghadirkan kesejatian kematian, dalam Tuhan Yesus dinyatakan adanya kebangkitan. Dalam Syahadat Iman memang ada rumusan percaya akan “kebangkitan badan dan kehidupan kekal”. Bagi saya kata badan dalam Syahadat adalah badan manusia. Maka itu selalu meliputi manusia sepenuhnya, yaitu roh, jiwa, dan tubuh. Sebagaimana kalau kita bicara tentang Bapa atau Tuhan Yesus atau Roh Kudus, itu selalu menunjuk ke Allah Tritunggal Mahakudus Bapa dan Putra, dan Roh Kudus.

No comments:

Post a Comment

Santa Katarina dari Alexandria

diambil dari katakombe.org/para-kudus  Diterbitkan:  10 Agustus 2013  Diperbaharui:  18 November 2019  Hits:  25029 Perayaan 25 November   L...