Sunday, November 23, 2025

Dari Sanjungan Sadar Karunia

Bagaimanapun juga sanjungan memang bisa menghadirkan kegembiraan bagi yang disanjung. Sayapun, sekalipun sudah lansia dan bahkan sebagai seorang rama, juga merasa sening karena mendapatkan sanjungan. Barangkali pengalaman tersanjung bukan muncul dari banyak orang. Tetapi kalau sanjungan itu disikapi seperti Bunda Maria menghadapi sebuah peristiwa, itu sungguh bisa disadari sebagai karunia. Ketika mendapatkan kehadiran para gembala untuk melihat bayi Yesus, menghadapi ocehan kata para gembala Bunda Maria “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19). Di sini saya akan mensharingkan pengalaman saya ketika mendapatkan yang saya sebut saja sebagai sanjungan. 

Kata Tiga Teman

Sebetulnya yang masuk dalam hati saya adalah sanjungan yang hanya berasal dari 3 orang rama. Dua orang rama tinggal serumah bersama saya di rumah rama sepuh yang bernama Domus Pacis Santo Petrus. Sedang seorang lain adalah seorang rama yang masih segar dan bugar serta menjadi salah seorang pastor paroki di Keuskupan Agung Semarang.

Dua rama serumah tampak mengagumi saya. Kekaguman salah satu saya dengar beberapa kali dari kata-katanya kepada rombongan tamu pengunjung Domus Pacis. Sebagai salah satu rama yang masuk di Domus karena kondisi sakit yang membutuhkan pelayanan dan penjagaan khusus, beliau kerap membandingkan ketika masih di paroki dan ketika sudah di Domus. “Saya melihat Rama Bambang bisa segar penuh keceriaan padahal juga menanggung penyakit seperti saya. Rama Bambang bisa disiplin dalam menyantap menu makan. Beliau dengan tenang tak mengambil menu yang berbahaya untuk penyakitnya” demikian sekitar kata-kata yang saya dengar tak hanya sekali. Bahkan salah satu perawat home care, yang datang setiap Rabu di Domus Pacis, tak hanya sekali berkata “Wah, kalau omong tentang Rama Bambang, beliau selalu mengatakan teladan segalanya”.

Sedang sanjungan dari rama serumah lain saya dengar dari Bu Rini. Bu Rini pernah terlibat omong-omong dengan rama ini. Rama ini berkata kepada Bu Rini bahwa ketika ditetapkan tinggal di Domus Pacis, beliau sebenarnya merasa amat tidak nyaman. “Di Domus saya akan hidup bersama dengan Rama Bambang. Jujur saja, saya takut karena Rama Bambang itu galak. Ternyata sesudah berada di Domus, Rama Bambang itu menyenangkan. Beliau selalu tampak segar dan paling sehat” kata beliau yang sebenarnya juga tahu bahwa saya setiap hari menyantap obat-obat dar dokter. Ada yang bilang bahwa rama itu dulu biasa menolak obat rumah sakit. Yang jelas, yang saya ketahui di Domus beliau selalu minum obat dan sering juga terdengar kata-katanya “Endi obatku?” (Mana obatku) kalau karyawan belum menyediakan obat di bagian menjanya ketika makan bersama.

Sedang rama yang masih aktif melayani paroki berbicara tentang saya, hal ini juga saya dengar dari Bu Rini. Beliau memang masih terhitung muda karena belum mencapai 20 tahun menjadi imam. “Saya besok akan seperti Rama Bambang. Sekalipun masih bisa aktif tetapi sudah masuk lansia, beliau masuk rumah tua. Di Domus beliau masih tetap bisa terbuka melayani umat. Bahkan hingga kini, ketika sudah tak bisa banyak keluar karena tak lagi bermotor dan bermobil, Rama Bambang masih bisa ikut berbuat untuk komunitas. Bahkan kadang-kadang masih bisa diminta datang ke umat” kata rama itu menurut Bu Rini. “Katanya omongan itu juga muncul ketika beliau memimpin Misa di depan umat” kata Bu Rini berdasarkan kisah kenalannya yang ikut Misa rama tersebut.

Karunia Derita

Mendengar kata-kata bernuansa sanjungan memang menghadirkan rasa bangga dalam diri saya. Tetapi kalau saya menelusuri kembali peristiwa awal dari hal yang membuat tersanjung, saya menyadari hal yang bagi saya baru.

Ketika sadar gagap perkembangan pastoral

Sebenarnya ketika masuk Domus Pacis pada 1 Juni 2010 saya masih bisa ke sana-sini sendiri. Memang saya sudah memakai kruk untuk alat bantu berjalan. Tetapi saya masih bisa mengendarai mobil sendiri. Padahal pada waktu itu saya belum mengenal mobil matic. Saya mengenalnya baru pada tahun 2013. Bermotor roda 2 memang sudah kesulitan. Tetapi dengan menjadikan modifikasi roda 3, saya masih bisa tegar kuat bermotor hingga Magelang dan Sala. Maka, saya masih bisa banyak melayani permintaan umat untuk Misa Keluarga. Untuk membantu Misa-misa Paroki dan atau kapel-kapel Stasi/Wilayah juga masih bisa saya jalani. Saya juga masih diminta untuk bersedia masuk jadual pelayanan hari besar seperti Natal dan Paskah di Paroki peminta. Bahkan memimpin rekoleksi dan retret juga terjadi. Yang pokok, saya tidak mau mendapatkan jadual rutin untuk Paroki atau tempat pelayanan tertentu. Rasa-rasanya bisa menjadi seperti pastor pembantu terbatas yang bebas mengatur jadual sendiri.

Saya mendengar beberapa rama bertanya mengapa saya tinggal di Domus Pacis. Banyak yang tahu bahwa sedikit banyak itu adalah keinginan dan pilihan saya yang disetujui oleh Pimpinan Keuskupan, yang pada waktu itu adalah Rm. Pius Riana Prapdi sebagai Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang. “Njenengan niku tesih isa aktif lho. Kénging napa kok pun mlebet Domus?” (Anda bisa bisa aktif. Mengapa sudah masuk Domus?) tanya seorang rama ketika saya membantu di Parokinya. Saya hanya tertawa dan tidak menjawab. Apapun jawaban saya, komentar beberapa sekitar “Bambang ki cèn nakal kok. Mung golèk senengé dhéwé” (Bambang memang nakal, Hanya cari senang sendiri) dari beberapa teman rama. Mereka tidak tahu betapa saya sungguh merasa sudah merasa berat untuk meneruskan kerja di Komisi Karya Misioner (KKM) dan Karya Kepausan Indonesia (KKI) serta Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM) di Keuskupan Agung Semarang. Itulah bidang karya misi yang saya jalani selama 27 tahun. Perkembangan hidup menggereja dan zaman sudah mulai membuat saya gagap. Apalagi tuntutan-tuntutan institusional lebih-lebih yang berkaitan dengan tata administratif dan akuntansi, saya sungguh ketinggalan. Sebagai tenaga full timer karya Keuskupan, menyaksikan perkembangan karya Paroki termasuk tuntutan-tuntutannya, saya sudah merasa akan amat gagap kalau harus ikut menangani sekalipun hanya bertugas sebagai pembantu.

Tinggal di Domus Pacis bagi saya memang masuk dalam dunia kehidupan yang amat berbeda dengan dunia karya misioner yang saya jalani 27 tahun sebelumnya. Saya hidup bersama dengan para rama sepuh yang masuk karena memang kondisi tubuh karena putusan dari Keuskupan dan memang sungguh sudah bebas tugas pelayanan dengan datang ke umat. Memang saya mengalami 10 tahun bersama Rm. Agoeng yang memilih tinggal di Domus. Beliau memang termasuk anggota pengurus Domus. Tetapi sebagai Ketua Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan, beliau amat sibuk dan kerap memiliki kegiatan luar Domus. Yang jelas, dengan menjadi penghuni Domus, saya jauh lebih banyak mengalami kesendirian di kamar. Bahkan saya mengawali tinggal di Domus dengan memegang kata hati “Kecuali karena diminta melayani Misa, aku tak akan pergi keluar Domus sebelum merasa nyaman tanpa kegelisahan dengan berada dalam kamar”. Tetapi selewat 59 hari, saya bisa menghayati kenyataan dunia Domus. Bahkan ketika masuk 5 bulan saya tiba-tiba terlibat membantu teman serumah. Dengan persetujuan Rm. Agoeng saya mencari seorang pramurukti untuk melayani salah satu rama yang dalam segalanya membutuhkan penjagaan dan bantuan. Maklumlah, jumlah tenaga Domus bagi saya tidak memadahi. Ketika bulan keenam saya ikut memulai terjadinya acara yang selama 10 tahun belum pernah terjadi. Pada tanggal 21 Desember 2010 Domus mengadakan Pesta Ulang Tahun Imamat 2 rama sepuh Domus dengan mengundang umat. Dari sini mulailah jaringan hubungan dengan umat.

Perhatian kepedulian umat untuk penghuni Domus makin berkembang bahkan ketika masih di Domus Pacis Puren terjadi sajian lauk pauk 3 kali sehari datang dari keluarga-keluarga lintas Paroki yang berhenti sesudah siaga dan pindah di Domus Pacis Santo Petrus pada tahun 2021. Domus Pacis tak hanya menerima kepedulian umat. Domus juga menyelenggarakan pelayanan pastoral. Dengan makin banyak umat datang, kunjungan-kunjungan rombongan umat bisa dijadikan kesempatan mensharingkan kehidupan menjadi lansia, bahkan dengan kondisi berkebutuhan khusus namun bisa ceria berbahagia. Tak sedikit rombongan datang minta pelayanan Misa dan atau rekoleksi. Pastoral Ketuaan berkembang dan kemudian terjadilah Novena Domus Pacis setiap Minggu I dari Maret sampai November sejak tahun 2013. Novena ini selalu berisi seminar 2 jam ditutup Misa. Banyak umat ikut terlibat jadi relawan. Pelayanan ke kelompok-kelompok lansia di beberapa paroki terjadi dalam program Jagongan Iman yang berisi pendalaman keagamaan.  

Mulai November 2020 saya sudah tak bermotor atau pergi mengendarai mobil sendiri. Ketajaman saya menurun. Semua derap pelayanan pastoral amat banyak menghilang sesudah berada di Domus Pacis Santo Petrus Kentungan. Dari hitung-hitungan jam di Domus Petrus 90% lebih saya berada di kamar. Menghilangnya banyak aktivitas pastoral memang bermula dari terjadinya pandemi Covid-19. Tetapi kondisi usia lebih dari 70 tahun memang membuat saya sudah tak sekuat dulu apalagi sejak 2014 sudah selalu berkursi roda. Meskipun demikian saya masih bisa memiliki sisa kemampuan public speaking sehingga bisa ikut menyemarakkan penyambutan rombongan-rombongan kunjungan dengan memandu interaksi pengunjung dengan para rama Domus. Puji Tuhan, atas pendampingan dulu oleh Rm. Agoeng dan beberapa bantuan karyawan, saya mendapatkan anugrah bermedia sosial. Hal ini membuat saya, yang mayoritas hidup di kamar, bisa ambil bagian punya hubungan dengan umat umum walaupun secara maya. Saya bisa menayangkan renungan harian, kisah santo-santa, dan peristiwa Domus atau juga pikiran-pikiran pastoral ketuaan. Bahkan lewat hubungan maya saya boleh ikut membantu Domus mengumpulkan dana untuk tambahan honor karyawan dan menerima kepedulian umat untuk dana hajatan. Saya ikut ambil bagian terjadinya hajatan untuk pesta ulang tahun imamat masing-masing rama, peringatan arwah rama yang pernah jadi penghuni Domus, dan even-even lain seperti menyemarakkan Malam Natal/Paskah. Bersama Bu Rini saya juga bisa ikut mencari dana lewat penjualan kain batik.

Ketika sadar kondisi kesehatan

Sejak minggu terakhir Desember 1972 saya sudah harus minum obat tensi setiap hari. Itu berarti sejak saya umur 21 tahun. Di usia 40an ada tambahan obat setiap hari untuk asam urat. Menu obat bertambah pada 50an tahun karena ada kelebihan kolesterol dan trigliserida. Terhadap kenyataan seperti itu saya tenang-tenang saja. Toh menu favorit masih bisa saya nikmati. Bagi saya menu favorit adalah gudeg, nasi goreng, bakmi baik goreng maupun godog.

Kejutan datang pada Januari 2012 ketika saya sudah berada di Domus Pacis. Ternyata penyakit yang ngendon di tubuh saya tambah, yaitu diabetes. Dari beberapa kali kontrol dokter disertai periksa laboratorium, termasuk juga pencobaan obat-obat tertentu, kadar gula selalu di atas 200. Saya tidak pernah digelisahkan oleh hipertensi, asam urat, kolesterol, dan trigliserida. Tetapi terhadap diabetes saya sungguh ketakutan. Dari informasi penyakit gula bisa diam-diam menyerang organ-organ tubuh lain. Yang paling saya takuti adalah kalau karena gula darah harus terjadi penderitaan cuci darah. Dokter mengatakan bahwa saya harus berhenti menikmati menu-menu favorit saya. Makan nasi pun harus pakai ukuran. Itulah yang membuat saya berkonsultasi ke ahli gizi untuk tanya menu yang baik untuk mengendalikan gula darah sekalipun harus tetap menerima tambah obat harian. Itulah yang membuat saya sehari 3 kali makan sayur sebagai pengganti nasi. Pikir saya makan itu yang paling pokok kenyang. Tidak nasi tidak apa asal kenyang. Sebetulnya saya tak suka sayuran dan buah-buahan. Tetapi dari petunjuk ahli gizi sayuran amat baik. Enam hari pertama saya memang merasakan tubuh lemas. Tetapi pada hari ketujuh jadi biasa. Jujur saja, sebetulnya hingga kini saya belum bisa mengatakan enak menyantap daun-daun sayuran. Tetapi hati saya diwarnai oleh pemahaman bahwa “Beriman itu berarti semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat” (Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 1996-2000). Yang jelas dengan santapan ini saya mengalami kesegaran badan dalam keseharian. Gula darah selalu biasa tidak menyentuh angka 200 bahkan biasa di bawah 150. Kalau ada rasa tak nyaman, saya biasa ingat kata-kata Tuhan Yesus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Bagi saya penyangkalan diri dalam makan adalah mengalahkan selera pucuk lidah. Kalau saya bisa menang terhadap sepucuk kecil bagian tubuh, seluruh tubuh mengalami kenyamanan tubuh. Di sini saya juga merasa diyakinkan oleh firman “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Mat 17:20).

Karunia tak selalu mengenakkan

Bagaimanapun juga pengalaman saya ketika masuk Domus Pacis bukanlah pengalaman enak. Ketidakenakan sesungguhnya mewarnai hidup saya. Memang, kata-kata Tuhan Yesus yang saya ungkapkan berkaitan dengan kesehatan tubuh, sebenarnya juga mewarnai perjalanan awal saya tinggal di Domus Pacis. Tetapi segala ketidaknyamanan itu justru menghadirkan hidup segar, ceria, dan tak ada rasa merana. Ternyata pilihan saya tinggal di rumah sepuh Domus Pacis menghadirkan inspirasi bagi salah satu rama Paroki. Di hadapan beberapa rama yang bertanya kepada saya mengapa saya tinggal di Domus walau masih segar, saya biasa menjawab “Itu hak saya sebagai rama sepuh”. Ternyata sikap dan tindakan saya menghadapi penyakit menghadirkan semangat ke 2 orang rama sepuh serumah di Domus. Ketika ditanya mengapa saya tahan makan menu sekalipun tak masuk selera, saya menjawab “Saya juga harus taat pada kehendak tubuh”.

Sebenarnya saya dalam pengalaman itu tidak berpikir dan berkeinginan untuk menghadirkan keteladanan bagi teman-teman lain. Saya menjalani segala ketidakenakan itu karena yakin akan mengalami keenakan mendalam. Bahwa kemudian ada 3 orang menyatakan mendapatkan inspirasi, entah bagaimana saya berpikir apakah yang tidak enak ini juga merupakan karunia atau anugrah ilahi. Dari sini saya merasa mendapatkan karunia “bisa masuk rumah tua meninggalkan hiruk pikuk menyenangkan berada di tengah kancah kegiatan umat”. Ada juga karunia yang saya terima “Saya bisa sakit. Saya bisa hidup bersahabat dengan penyakit”. Dalam permenungan saya yakin bahwa itu adalah karunia bisa enak dalam ketidakenakan. Saya jadi ingat kata-kata Santo Paulus “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. ..... Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama” (1Kor 12:4.7).

No comments:

Post a Comment

Santa Katarina dari Alexandria

diambil dari katakombe.org/para-kudus  Diterbitkan:  10 Agustus 2013  Diperbaharui:  18 November 2019  Hits:  25029 Perayaan 25 November   L...