Tak sedikit orang yang pernah ikut program retret akan merasa senang. Ikut rekoleksi juga bisa membuat orang bisa berkisah dengan hati bersemangat. Bahkan gerakan-gerakan kerohanian juga bisa membuat orang memiliki kebanggaan hidup. Dalam hal ini saya sungguh ikut bergembira karena menyaksikan gerakan-gerakan umat yang di dalam Katekismus Gereja Katolik masuk dalam gerakan doa renung atau meditasi. Meskipun demikian saya ingin berbagi pengalaman ketika dalam gerakan-gerakan meditasi orang belum sampai pada tujuan utama, yaitu mengalami keterbukaan gerak bimbingan Roh Kudus yang selalu mencari dan mendampingi murid Kristus menuju Kerajaan Bapa. Sadar atau tidak sadar orang bisa terhalang untuk berada dalam keterbukaan atau untuk menyadari dan menerima gerak Roh. Halangan itu berkaitan dengan hal-hal lahiriah. Itu bisa berkaitan dengan fasilitas dan atau pendamping/pembicara. Kaitan lahiriah bisa menyenangkan atau menyusahkan. Kalau menyenangkan orang bisa bergembira karena fokus pada yang lahiriah. Kalau tidak menyenangkan orang bisa mengomel dan bosan serta kemudian tak suka kegiatan yang bercorak meditatif.
Bagaimanapun juga manusia itu merupakan tubuh dan roh. Dalam doa kita menyertakan keseluruhan diri sehingga kita harus mengikutsertakan pancaindera lahiriah. Segala hal lahiriah harus terakomodasi dalam diri kita agar menjadi sarana kongkret untuk perjumpaan dengan Tuhan. Katekismus Gereja Katolik mengatakan ini terjadi dalam doa lisan yang merupakan doa rakyat. Dengan istilah doa rakyat bagi saya ini berkaitan dengan religiositas masyarakat sesuai dengan budaya setempat. Katekismus mengatakan bahwa doa lisan merupakan cara pertama doa batin, yaitu kontemplasi. Dalam tulisan ini saya mengetengahkan sharing saya dalam penghayatan doa lisan.
Intinya Penyangkalan Diri
Bagi saya semua itu adalah dalam rangka mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus berkata “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Dari kata-kata ini syarat pertama untuk ikut Tuhan Yesus adalah orang harus menyangkal diri. Sejauh saya alami hal praktis dalam penyangkalan diri adalah sikap untuk mengobyekkan apapun realita yang saya hadapi. Senang atau tidak senang saya harus bersikap sebagai subyek dan realita yang saya hadapi sebagai obyek. Kalau saya senang, saya berusaha tidak dikuasai oleh yang menyenangkan sehingga mudah jadi takabur. Kalau saya tidak senang, saya tidak akan frustrasi karena terlalu dicekam oleh yang tak menyenangkan.
Upaya penyangkalan diri adalah derap hati untuk menyadari dan menghayati kesejatian diri. Bagaimanapun sebagai manusia saya diciptakan terutama hidup dalam roh. Sebagai makhluk jasmani-rohani, roh saya adalah bagian hembusan Roh Ilahi. Bukankah “Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7)? Sebagai makhuk badaniah sekaligus rohaniah, kesejatian manusia sungguh amat berbeda dengan ciptaan lain yang tanpa roh hembusan nafas ilahi. Tetapi karena ada unsur jasmaniah atau badaniah dalam diri manusia, orang harus menjaga diri agar tak seperti binatang yang hanya bisa hidup dengan ciri jasmaniah atau hidup dalam dorongan jati kelahiriahannya, misalnya: ikan hanya hidup dalam air, hewan berkaki empat makan dan minum sesuai dorongan naluriahnya. Sebagai manusia orang yang sadar punya jati daya ilahi dituntut tidak hanya hidup dari dorongan lahiriah badaniah. Ketika berhadapan dengan apapun yang nyata ada, orang dalam sikap dan tindakannya harus dilandasi oleh kebijakan yaitu ketentuan atau pilihan hasil kepaduan olah cipta, rasa, karsa dalam dialog batin dalam relung hati. Dengan demikian orang dengan tetap berada dalam kehidupan duniawi riil tetapi punya rambu-rambu yang membuat jarak dirinya dengan realita. Bagi saya inilah yang terjadi dalam penyangkalan diri. Dalam Yesus manusia memang berada di tengah dunia, tetapi manusia seperti Tuhan Yesus bukan dari dunia (bandingkan Yoh 17:14-16).
Dalam Budaya Setempat
Puji Tuhan, sebagai umat Keuskupan Agung Semarang saya pernah mendapatkan pegangan untuk penghayatan iman. “Beriman berarti semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus dalam perkembangan situasi hidup dan kebudayaan setempat” (Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 1996-2000). Bagi saya penghayatan rohani sadar atau tidak sadar diwarnai oleh religiositas berdasarkan budaya setempat. Sebagai orang Jawa saya boleh mendapatkan sarana proses perkembangan hidup rohani dengan konsep-konsep yang ada dalam budaya Jawa. Berdasarkan pengalaman hidup yang diwarnai oleh konteks keluarga yang menghayati spiritualitas Kejawen, dan studi-studi dalam perkembangan hidup, saya menemukan titik tolak untuk pengembangan kehidupan batin. Konsep-konsep itu adalah kemampuan menghayati yang disebut rila (membiarkan apapun sesuai adanya), nrima (menerima dengan ikhlas), dan sabar (bisa toleran berdampingan). Uraian di bawah ini menjadi sharing saya dalam menghayati upaya penyangkalan diri dengan olah batin rila, nrima, dan sabar.
Rasa diharuskan (rila)
Sebenarnya ketika masih berada di Seminari Menengah Mertoyudan, saya termasuk yang sering dimarahi oleh Rama Pamong. Jujur saja, keharusan belajar dari jam 17.00-21.00 dan bacaan rohani jam 20.00-21.00 membuat saya capek. Untuk melepas ketegangan saya mengajak teman main kartu dengan duduk di lantai belakang deretan kursi-kursi paling belakang. Eeee, omongan lucu-lucu bisa muncul menggairahkan. Ketika Rama Pamong lewat dan mendengar, entah bagaimana yang dipanggil dan dimarahi saya. Saya amat terkesan kata beliau “Seminari aja didebritokké ya” (Jangan membuat Seminari seperti SMA de Britto). Maklumlah, selama 3 tahun menjadi siswa de Britto tahun 1967-1969, saya mendapatkan iklim pendididkan bebas. Ketika SMA saya sering membolos dengan alasan ini itu. Pada tahun 1971 saya menipu bilang ada acara bersama sesama teman Seminaris eks de Britto. Kami diijinkan dan di hari berikut harus sudah berada di Seminari pada jam 15.00. Saya memang tidak terlambat, tetapi teman saya masuk Seminari sudah jam 18.00. Nah, ketika para siswa sudah mulai pulang libur Paskah, kami berdua baru boleh pulang setelah pergantian hari pada jam 00.00. Di Seminari Tinggi Kentungan saya juga termasuk seorang calon imam yang sering kena perkara menerima teguran beberapa rama anggota staf.
Meskipun demikian saya termasuk yang mendapatkan izin untuk ditahbiskan. Padahal, katanya, kalau satu orang saja dari rama staf tak setuju seorang calon imam Seminari Tinggi Kentungan tak akan bisa ditahbiskan. Katanya, ada salah satu rama staf yang memberi kesaksian bahwa saya selalu taat pada aturan. Ada yang bilang bahwa di antara rama-rama staf mencap aku banyak kegiatan luar Seminari. Ini memang benar. Kecuali acara rekoleksi bulanan dari Sabtu malam Minggu II sore hingga Minggu siang, setiap Rabu, Sabtu, dan Minggu saya memiliki kegiatan luar. Ada pendampingan Kor Kanak-kanak Kalasan, ada gerakan angkatan muda cacad tubuh, kegiatan-kegiatan di Paroki Jetis, dan tak jarang sudah kerap diminta datang di Lingkungan-lingkungan. Ada salah satu rama staf yang bilang “Sekarang yang pokok belajar dulu. Kegiatan-kegiatan Gereja kalau sudah jadi imam”. Entah bagaimana pada waktu itu saya menanggapi “Belajar itu tak hanya intelektual akademis. Belajar melayani umat juga penting”. Pada suatu saat muncul aturan Seminari Tinggi bahwa setiap frater yang punya kegiatan luar harus berpamitan. Saya kemudian membuat surat pamit pada setiap Rabu, Sabtu, Minggu kecuali ada rekoleksi bulanan. Dalam surat pamitan saya sertakan narasi kegiatan-kegiatan saya. Beberapa bulan kemudian aturan baru muncul bahwa surat pamit harus disampaikan setiap akan pergi. Saya membuat tiga macam surat pamit : untuk Rabu, untuk Sabtu, dan untuk Minggu. Saya perbanyak dengan cetak stensil (dulu belum ada fotocopy). Setiap akan pergi saya menyerahkan kepada almarhum Rm. V Kartasiswaya yang menjadi Pamong Seminari Tinggi pada waktu itu. Kabarnya, ketika ada rapat staf ada usulan melepas saya dari calon imam, Rm. Karta membawa segepok kertas-kertas pamitan yang saya serahkan ke beliau.
Sebenarnya saya mengalami banyak hal yang harus saya hadapi. Itu tak hanya aturan-aturan Seminari. Dengan teman-teman calon imam saya berhadapan dengan yang berbeda pandangan bahkan berseberangan. Dari dalam keluarga saya juga mengalami beberapa sikap yang tak saya cocoki. Di tengah umat saya juga menjumpai orang-orang amat tak membuat nyaman. Tentu saja sesudah berkarya menjadi imam selama 30 tahun saya juga kerap berhadapan dengan berbagai orang dan hal yang di luar selera pikiran atau perasaan atau kehendak saya. Bahkan hingga kini di rumah tua Domus hal-hal seperti itu tetap menyertai. Dari semua itu saya berhadapan dengan yang mau tidak mau harus saya alami. Untunglah ada kebiasaan diam dalam diri saya. Itu semua menjadi kesibukan dialog batin. Entah sejak kapan, saya memegang teguh kebiasaan seperti yang terjadi pada Bunda Maria “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19). Pergulatan merasa “harus” membiarkan hal atau orang atau kegiatan itu tak selesai dalam waktu pendek. Bisa berhari-hari, bisa berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan dan bertahun-tahun hingga kini. Setidakmenerima apapun, dalam pengalaman saya, karena biasa saya omongkan dalam hati, semuanya tidak mengganggu ketenangan hati saya. Sayapun bisa terjaga dalam keceriaan.
Iklhas Menerima (nrima)
Berhadapan dengan “yang harus” dan terutama jadi omongan dalam hati, ternyata dalam proses membuat saya bisa membiarkannya menjadi kenyataan yang memang harus saya hadapi. Tetapi keharusan menghadapi itu lama-lama terjadi dalam suasana hati tenang. Sebagai salah satu pengalaman adalah teman sesama imam serumah yang biasa mengecam pendapat-pendapat saya. Kecamannya biasa muncul dalam kata-kata keras, pedas, dan kerap menyakitkan hati. Apa yang diomongkan dengan segala mimik wajahnya kerap mewarnai dan membayang dalam benak saya. Perasaan saya kerap melonjak-lonjak menuntut mulut untuk membalas. Tetapi segala lonjakan perasaan, pikiran yang menata kata-kata, dan kehendak untuk menemukan saat strategis untuk membalas, itu semua menjadi diskusi ramai dalam hati. Entah bagaimana, segala kesibukan hati meredam segala maksud bertindak membalas dan muncul kata-kata dalam hati “Ya wis piyé menèh, dhèké pancèn kaya ngono” (Bagaimana lagi, dia memang seperti itu). Dalam saat seperti itu hati sungguh tenang.
Ketika hati tenang berhadapan dengan realita yang membuat tidak nyaman, ada rasa mengikhlaskannya. Di sini saya menerima realitas itu. Barangkali latarbelakang seperti ini yang membuat saya memiliki prinsip dalam berhadapan dengan keadaan yang saya nilai negatif, saya tidak boleh punya pandangan bahwa orang harus positive thingking. Sejauh saya alami, tampaknya yang sering bilang “Kita harus positive thingking” adalah sosok yang meminta itu terjadi pada orang lain. Maka pandangan saya, dan ini kerap mendapatkan tentangan, kalau berhadapan dengan keadaan negatif “Saya harus negative thingking”. Pikiran dan perasaan saya harus saya isi dengan dengan realita yang paling tidak dalam anggapan saya negatif. Dalam hal ini saya kerap berbicara dengan hitungan matematika bahwa kalau yang negatif saya ketemukan dengan negatif, positiflah hasilnya (- X - = +). Kepositifannya adalah hati tenang rasa menerima dengan ikhlas realita. Tentu saja dialog batin itu tak hanya ketika berhadapan dengan kondisi negarif. Seperti Bunda Maria yang memasukkan segalanya dalam hati dan merenungkan, apapun yang saya sadari masuk dalam pikiran, perasaan, dan kehendak baik positif maupun negatif saya upayakan menjadi kesibukan dialog dalam hati.
Mudah toleran (sabar)
Ketenangan hati yang mengubah rasa tidak nyaman dan tidak enak serta sebenarnya memberontak, membuat yang saya hadapi sebagai “keharusan di luar” berubah menjadi “keharusan dari dalam”. Saya tidak merasa terpaksa lagi tetapi saya merelakan yang ada dan terjadi ada dan terjadi sesuai keadaan dan kejadiannya. Ketenangan hati mengembangkan sikap batin dari kerelaan akan adanya yang ada dan yang terjadi sesuai ada dan kejadiannya menjadi sikap batin menerima. Saya ikhlas menerima yang tak nyaman dan tak mengenakkan menjadi kondisi dan situasi yang tak mengganggu.
Ketenangan hati dalam pengalaman hidup saya sungguh membuat yang tadinya terasa menganggu rasa nyaman dan rasa tak enak kehilangan daya gangguannya. Saya bisa berada dalam rasa enak saja berhadapan dengan yang tadinya merupakan keharusan. Penerimaan membuat saya memiliki rasa toleransi atau terbuka bersama berada dengan hal yang sebenarnya tak saya sukai atau bersama dengan orang yang sebenarnya berbeda pandangan bahkan berseberangan dengan saya.
No comments:
Post a Comment