1. Mengapa Rabu?
Masa Prapaskah adalah hari-hari khusus keagamaan menuju Hari Raya Paskah. Umat Katolik melakukan persiapan perayaan Paskah selama 40 hari. Yang menjadi soal adalah kalau orang menghitung dengan teliti hari-hari di Masa Prapaskah dari Rabu Abu hingga Sabtu Suci:
Minggu |
Prapaskah 1 |
Prapaskah 2 |
Prapaskah 3 |
Prapaskah 4 |
Prapaskah 5 |
Ming. Palma |
Senin |
Senin |
Senin |
Senin |
Senin |
Senin |
Senin |
Selasa |
Selasa |
Selasa |
Selasa |
Selasa |
Selasa |
Selasa |
RABU ABU |
Rabu |
Rabu |
Rabu |
Rabu |
Rabu |
Rabu |
Kamis |
Kamis |
Kamis |
Kamis |
Kamis |
Kamis |
KAMIS PUTIH |
Jumat |
Jumat |
Jumat |
Jumat |
Jumat |
Jumat |
JUMAT AGUNG |
Sabtu |
Sabtu |
Sabtu |
Sabtu |
Sabtu |
Sabtu |
SABTU SUCI |
Kalau
mingguan Masa Prapaskah ada enam (Prapaskah 1-5 ditambah Pekan Suci dari Minggu
Palma hingga Sabtu Suci), ada jumlah hari sebanyak 42. Ditambah 4 hari dari
Rabu Abu sampai dengan Sabtu sesudah Rabu Abu, kesemuanya ada 46 hari. Yang
harus diketahui adalah bahwa Masa Prapaskah menjadi masa “Retret Agung”.
Padahal di dalam Retret Agung pelaku retret akan libur pada hari Minggu.
Sebenarnya persiapan menuju perayaan Paskah terjadi selama 6 minggu (5 kali
Minggu Prapaskah ditambah seminggu Pekan Suci). Kalau dikurangi libur 6 kali,
42 hari dari 6 minggu akan berjumlah 36 hari. Maka butuh tambahan 4 hari dari
hari Rabu hingga Sabtu. Itulah latarbelakang mengapa Masa Prapaskah selalu
mulai dengan hari Rabu.
a. Pengembangan pribadi
“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.” (Mat 6:1)
Secara
umum di Indonesia orang sudah masuk golongan lanjut usia atau lansia kalau
sudah menginjak umur kepala 6. Orang berusia 60 tahun ke atas sudah mendapatkan
keistimewaan ketika akan naik kereta api atau kapal terbang. Dia tidak harus
membayar penuh harga tiket karena ada potongan khusus. Di dalam Masa Prapaskah agama
Katolik, yang dulu biasa disebut Masa Puasa, kaum lanjut usia juga sudah
dibebaskan dari wajib berpuasa. Hal ini biasanya dinyatakan dalam surat gembala
yang disampaikan oleh uskup sebelum masuk Masa Prapaskah.
b. Tindakan personal
Orang-orang Katolik yang sudah masuk golongan lanjut usia memang bebas dari kewajiban berpuasa sebagaimana diatur oleh keuskupan. Tetapi sabda Tuhan Yesus Kristus yang dibacakan dalam pembukaan Masa Prapaskah, yaitu dalam liturgi Rabu Abu, tidak berbicara tentang kewajiban berpuasa. Yesus berbicara tentang kewajiban beragama. Dan kewajiban ini adalah kegiatan pribadi perseorangan yang menjadi tindakan personal. Ini adalah tindakan yang harus sungguh diusahakan sebagai hal pribadi sehingga tak terlihat oleh orang lain.
Penanggalan Liturgi 2019
memberikan catatan untuk Masa Prapaskah: Pada Masa Prapaskah Gereja
mempersiapkan pembaptisan dan membina tobat. (KL 109) Masa Prapaskah menjadi
masa “Retret Agung”. Bagi kaum lanjut usia barangkali tujuan utama dalam
menjalani Masa Prapaskah adalah untuk membina tobat. Hal ini tentu untuk
menanggapi warta pertama dan utama Tuhan Yesus Kristus “Bertobatlah, sebab
Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 4:17) Dengan bertobat umat membuka diri dan
berkiblat pada kuasa dan kehadiran serta penyertaan Allah. Tuhan Yesus yang
menjadi kenyataan hadir-Nya Kerajaan Sorga, yaitu kuasa dan penyertaan ilahi,
memberikan teladan dengan “berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam”
(Mat 4: 2). Hitungan 40 berkaitan dengan angka kudus. Pertobatan secara praktis
adalah olah hati untuk terbuka pada bimbingan Roh Kudus. Dengan bimbingan Roh
Kudus kita akan sungguh beriman, yaitu semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus
sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Dengan menjalani Masa Prapaskah kita
menyiapkan diri untuk merayakan Paskah yang menjadi landasan dasar hidup
beriman. Dengan Paskah dinyatakanlah karya penyelamatan Allah lewat peristiwa
sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.
c. Penghalang utama
Budaya senioritas
Dari pengalaman, tampaknya ada budaya yang menempatkan kaum tua dan lanjut usia dalam jajaran sosial yang harus mendapatkan penghormatan dari generasi yang lebih muda apalagi kanak-kanak. Ada pula gambaran yang menempatkan golongan lanjut usia sebagai sosok-sosok yang “sudah banyak makan asam dan garam” atau “sudah mengenyam pahit dan manisnya kehidupan”. Lanjut usia adalah golongan orang-orang yang merasa penuh dengan aneka pengalaman. Karena pengalaman dipandang sebagai guru yang jauh lebih canggih daripada hasil studi akademis strata apapun, kaum lanjut usia juga dipandang sebagai tempat berguru kehidupan. Apalagi di tengah masyarakat yang amat mengagungkan ikatan darah entah dengan istilah trah atau marga atau she atau apapun yang lain, kaum lanjut usia masuk dalam jajaran yang harus amat diluhurkan. Semua itu adalah realitas kultural yang tidak dapat dihapus begitu saja dalam perkembangan masyarakat. Yang perlu dicatat adalah bahwa gambaran senioritas tidak hanya dikaitkan dengan umur. Kedudukan tinggi dalam masyarakat juga mendapatkan penghormatan kesenioran sehingga ada istilah “yang dituakan”.
Dalam hal ini gambaran senioritas kalau tidak diwaspadai dapat menghalangi kaum lanjut usia menjalani wajib agama sebagai tindakan personal yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus Kristus. Orang lanjut usia dapat merasa tersinggung dan bahkan sakit hati apabila yang dilakukan tidak diperhatikan atau dihargai oleh orang-orang lain terutama oleh generasi yang lebih muda. Apalagi kalau yang sudah lanjut usia didorong oleh “nafsu jadi teladan” sehingga perbuatan baiknya menjadi bahan sharing yang tidak pada tempatnya. Dia dalam berceritera pengalaman dengan membanding-bandingkan yang terjadi pada orang lain dan bisa menempatkan dirinya memiliki kelebihan di antara orang-orang lain.
Post power syndrome
Ini terutama terkait dengan kaum lanjut usia yang di masa aktif produktif menikmati kedudukan sosial sebagai pemimpin atau jajaran kepengurusan institusi atau tokoh. Dia dulu menjadi sosok terhormat dan banyak orang menyambutnya dengan privilese tertentu. Barangkali dia juga kerap didatangi orang untuk tampil dengan segala kewibawaan yang hadir karena status jabatan atau status kecendekiawanan. Yang menjadi soal adalah kalau dia kini sudah pensiun atau berhenti tanpa status sosial. Bagi yang pernah mengagumkan karena ilmunya, setelah masuk golongan lanjut usia apa yang diketahui sudah berkategori out of date.
Di
era dimana orang dituntut untuk mandiri dalam mencukupi kebutuhan, orang akan
sibuk dengan urusan masing-masing. Di era global dimana orang akan tekait
dengan jaringan-jaringan kerja dan kegiatan, orang akan amat terjerat dengan
kelompok-kelompoknya. Di era kepesatan kemajuan tekhnologi komunikasi, orang
akan lebih banyak menjadi anggota netizen
sehingga lebih mesra dengan internet atau dunia maya. Dari satu sisi semua ini
membuahkan hubungan kesemartabatan. Struktur institusi tidak bercorak vertikal
tetapi horisontal. Di zaman seperti ini ilmu pengetahuan dan tekhologi juga
mengalami pesatnya kemajuan. Dalam keseharian segalanya cepat basi dan yang
baru bermunculan. Bagi kaum lanjut usia semua ini mudah membuatnya terpojok
sebagai yang tertinggal dan mudah tidak menjadi fokus perhatian. Orang yang
sudah lanjut usia, sekalipun hidup serumah dengan anak cucu, dapat lebih berada
dalam kesendirian. Yang menjadi soal adalah kalau jiwanya dipenuhi oleh
pemikiran irasional. Dia yang sudah out
of date tanpa status sosial masih dipenuhi perasaan berwibawa karena pernah
terhormat sebagai sosok berstatus dan atau sosok intelektual. Orang seperti ini
akan mengidap penyakit jiwa post power
syndrome yang “merupakan sebuah
kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan individu melepaskan apa yang pernah
dia dapatkan dari kekuasaannya terdahulu.” (https://www.liputan6.com)
2. Wajib Bersedekah
“Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:2-4)
Pada
zaman kini demi transparansi dana-berdana biasa dilakukan dengan pencatatan.
Hal ini dapat terjadi misalnya ketika ada media membuka kesempatan menyumbang
bencana alam. Di dalam Gereja hal itu juga terjadi. Uang dana yang dikumpulkan di
Lingkungan atau kelompok umat juga dicatat dan dilaporkan. Namun demikian Tuhan
Yesus dalam ayat-ayat itu tidak berbicara tentang kegiatan kebersamaan yang
berkaitan dengan tata organisasi. Tuhan berbicara tentang tindakan personal
dalam bersedekah sebagai salah satu kewajiban agama.
a. Menjadi pribadi utuh
Satu hal yang menarik adalah bahwa memberi sedekah dikaitkan dengan olah sikap agar tidak seperti orang munafik. Sikap munafik terungkap dalam tindakan penonjolan diri. Tindakan berdana tidak dilandasi oleh motivasi batin untuk menyumbang atau memberi secara cuma-cuma tanpa mengharapkan balasan. Pemberian derma dijadikan sarana atau alat untuk unjuk diri agar mendapatkan sanjungan dari banyak orang lain. Bagi kaum lanjut usia agar terbebas dari sikap munafik kiranya perlu menyadari kesejatian lasia. Kitab Suci berkata bahwa “Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.” (Ams 16:31) Kaum lanjut usia sejatinya menjadi tanda keindahan bagi kehidupan bersama terutama di tengah generasi di bawahnya. Hal ini terjadi karena orang yang sungguh menghayati kesejatian lanjut usia akan menjadi sosok bijaksana (band. Mzm 90:12). Memang, kebijaksanaan kaum lanjut usia diperoleh karena ketekunannya menjalani hidup penuh perjuangan sehingga “kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan” (Mzm 90:10). Hal ini tentu cocok dengan ajaran Jawa bahwa ngèlmu (bukan “ilmu” yang berkaitan dengan pengetahuan, tetapi ngèlmu[1] adalah kebijaksanaan) itu adalah buah dari susah payah perjuangan hidup.
Perjuangan hidup itu tetap
terjadi di masa lanjut usia, yaitu kalau kaum lanjut usia bersedia hidup dalam
dampingan, bimbingan, dan petunjuk kaum muda. Hal ini dikatakan oleh Tuhan
Yesus Kristus “jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu
dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak
kaukehendaki.” (Yoh 21:18) Orang yang sudah masuk lanjut usia seharusnya sudah
sampai pada tahap mampu tidak hidup menurut kehendaknya sendiri. Sebagai
pengikut Tuhan Yesus dia sudah sampai pada tahap endapan penghayatan hidup
mengikuti kehendak Allah sebagaimana Ibu Maria yang berkata “Sesungguhnya aku
ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38)
Orang yang dapat menghayati perkembangan diri di lanjut usia akan mengalami
kepribadian utuh dan tak ada keretakan antara yang terungkap dan terwujud
secara lahiriah dengan yang sebenarnya ada dalam batin. Seorang psikolog, H.
Erikson, menyatakan bahwa kaum lanjut usia yang berkembang secara positif akan
mengalami hidup bijaksana.
b. Sedekah model lanjut usia
Berbicara tentang sedekah sebagai kewajiban beragama jelas berkaitan dengan masalah uang. Sedekah ini pada masa Prapaskah di banyak keuskupan biasa disebut sebagai dana APP (Aksi Puasa Pembangunan). Tetapi sebagai kewajiban beragama sedekah tidak hanya di masa Prapaskah. Dalam hal ini kaum lanjut usia pun termasuk yang kena wajib bersedekah. Berkaitan dengan kondisi ekonominya, merujuk ke Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998, ada dua macam corak hidup kaum lanjut usia (lihat http://zelously.blogspot.com/2016/04): 1) Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan aktivitas pekerjaan dalam kata lain masih mampu menghasilkan barang dan jasa; 2) Lanjut Usia Non Potensial adalah lanjut usia yang tidak bisa mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada orang lain.
Berkaitan dengan kekuatan ekonomi, yang perlu diperhatikan adalah berapa besar uang yang riil dimiliki secara tunai. Bisa jadi yang potensial besaran pemasukan secara nyata lebih kecil daripada yang non potensial karena dia mendapatkan pemberian lebih besar. Memang, bisa saja yang potensial pendapatannya masih ditambah pemberian rutin misalnya dari anak-anak atau sanak saudara bahkan mungkin masih ada dana pensiun. Meskipun demikian, sekalipun potensial atau bahkan potensial plus tambahan pemberian, hal yang harus dicermati adalah sebesar apa pengeluaran rutinnya. Barangkali dia harus menanggung sendiri pajak-pajak bulanan. Barangkali dia juga masih harus membeayai sendiri pengobatan-pengobatan karena kaum lanjut usia pada umumnya sudah rentan akan penyakit. Atau lebih berat lagi barangkali dia juga masih menanggung atau paling tidak membantu kehidupan anak dan atau cucu.
Dalam bersedekah kaum lanjut
usia harus memperhitungkan kekuatan nyata yang bisa untuk ambil bagian dalam
berdana. Besar atau kecilnya dana tidak ditentukan oleh Gereja. Tuhan Yesus
hanya berkata “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan
banyak dituntut,” (Luk 12:48). Sesedikit apapun jumlah sedekah, yang paling
pokok itu adalah wujud totalitas diri mempersembahkan hidup kepada Allah.
Sekalipun memberi banyak kalau itu hanya sekedar memenuhi wajib lahiriah dan
hanya bagian dari kelimpahan, dapat terjadi itu belum menyentuh lubuk hati rela
berkorban. Inilah yang terjadi ketika Tuhan Yesus membandingkan sedekah janda
miskin dan kaum kaya. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini
memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti
persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini
memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”
(Mrk 12:43-44)
c. Penghalang utama
Kemunafikan adalah hal yang menjadi peringatan utama dari Tuhan Yesus untuk bersedekah. Dari sini kaum lanjut usia perlu memiliki kesadaran batin akan hal-hal yang bisa membuatnya bersikap munafik, yaitu bersedekah untuk menonjolkan diri. Kalau dikuasai oleh rasa ingin terpandang karena tak ketinggalan dalam bersedekah, kaum lanjut usia bisa tidak memperhitungkan perkembangan situasi hidupnya. Barangkali dia memang punya uang banyak. Tetapi barangkali kali dia mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan yang juga membutuhkan beaya besar seperti pajak dan obat-obat rutin.
Sebaliknya, barangkali yang
terjadi adalah realita keuangan amat minim. Tetapi demi dihargai oleh orang
lain kaum lanjut usia menyumbang melebihi kekuatan dengan meminta uang tambahan
dari anak dan atau cucu dengan desakan dan tekanan. Paling celaka kalau dia
menyumbang dengan uang hasil berhutang. Tuhan berkata “Tetapi jika engkau
memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan
kananmu.” Larangan kiri mengetahui yang diperbuat oleh tangan kanan barangkali
juga dapat diperluas dengan larangan untuk mulut menceriterakan dan jari-jari
menulis dijadikan kabar untuk orang lain.
3. Wajib Berdoa
“Dan
apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka
mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada
tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau
berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu
yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan
membalasnya kepadamu.” (6:5-6)
a. Bukan eksposisi
Ternyata doa juga dapat menjadi kemunafikan. Kalau sikap munafik adalah nafsu penonjolan diri, kemunafikan doa menjadi tindakan menunjukkan diri kepada khalayak bahwa seseorang adalah pendoa bahkan pendoa hebat. Untuk saat ini mungkin kemunafikan doa tidak terjadi “dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya”. Tetapi orang dapat saja berlama-lama berada di gedung Gereja atau kapel dengan niatan agar dilihat sedang berdoa. Sehingga di situ hanya sekedar duduk-duduk atau sebagai orang yang sudah berlanjut usia bosan dengan keadaan rumah. Bisa saja di situ orang hanya ber-HP-ria asyik sana-sini jumpa dengan banyak orang di dunia maya. Barangkali dengan HP dia tetap berada dalam kesibukan doa, yaitu dengan menuliskannya. Dan kemudian ditayangkan lewat dunia media sosial. Bahkan mungkin orang menyampaikan keberhasilannya lewat doa-doa tertentu.
Sebenarnya doa di dalam tempat
ibadat dan menuliskannya sebagai sharing dalam media sosial bukan hal yang
tidak terpuji. Di sini yang perlu dicermati dalam hati adalah dorongan batin
dari yang dilakukan. Kalau itu sungguh untuk ungkapan relasi dengan Tuhan tentu
saja menjadi keutamaan. Tetapi kalau untuk mengekspos diri agar dilihat atau
diketahui orang sebagai “Nih, aku berdoa”, itulah yang dilarang oleh Tuhan
Yesus. Kewajiban keagamaan bukan untuk mencari untung duniawi sekalipun itu
berupa sanjungan atau pengakuan yang dapat menaikkan gengsi dalam hidup
bersama.
b. Jalan tol doa lanjut usia
Dalam kesendirian
Orang sering begitu saja menyamakan doa dengan ibadat. Ibadat itu menyangkut kebersamaan dalam mengungkapkan hubungan denganTuhan. Karena menjadi tindakan bersama, dalam ibadat biasa ada panduan atau doa-doa tradisi agar semua dapat terlibat. Lain halnya dengan doa. Doa adalah hubungan personal orang dengan Tuhan. Ini adalah relasi yang sungguh pribadi antara “aku insani” dengan “Aku ilahi”. Hubungan pribadi dengan Allah akan mendasari segala kebaikan dalam hidup termasuk dalam hidup keagamaan. Peribadatan akan sungguh bermakna kalau dilandasi oleh masing-masing peserta yang memiliki kebiasaan kontak personal dengan Allah. Bahkan doa tradisi, yang diucapkan dalam doa pribadi, akan sungguh bermakna karena adanya kebiasaan kontak personal dengan Allah.
Karena doa pada dasarnya merupakan hubungan personal dengan Allah, layaklah bila Tuhan Yesus berkata “jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” Hubungan pribadi dengan Allah mengkondisikan orang berhubungan dengan Allah seperti dengan orang tua atau sosok yang mencinta dan jadi topangan jiwani. Ini adalah tindakan yang dihayati dalam kesendirian. Yesus menggambarkan doa sejati ada di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang lain. Bagi kaum lanjut usia untuk masuk dalam kesendirian adalah hal yang amat leluasa dapat dialami. Pada umumnya orang yang masuk lanjut usia sudah tidak banyak aktif dalam kebersamaan. Hidupnya sudah banyak berada dalam kesendirian. Bila tinggal di rumah tua, dia akan berjumpa dengan orang serumah hanya dalam jam-jam tertentu dalam acara bersama seperti makan atau ibadat. Bila hidup serumah dengan anak cucu, orang lanjut usia banyak ditinggal sendiri karena mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Apalagi kalau berada di rumah sementara anak cucu tidak tinggal bersama, dia akan berjumpa dengan orang lain bila masih dapat ikut aktif dalam pertemuan-pertemuan. Kaum lanjut usia yang beriman akan menghayati kondisi kesendirian itu justru menjadi anugerah istimewa sehingga bisa mendapatkan jalan leluasa memesrakan hidup berhubungan dengan Allah.
Sendiri berhening diri
Doa sebagai perjumpaan dengan Allah di tempat tersembunyi mengarahkan orang dalam kesendiriannya masuk dalam hubungan dengan relung hati. Di dalam relung hati orang tidak berjumpa dengan dirinya tetapi dengan Allah sendiri karena setiap orang adalah “bait dari Allah yang hidup” (2Kor 6:16). Sekalipun hati hanyalah bagian dari unsur jasmaniah tetapi tubuh manusia adalah “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19).
Satu hal yang bisa menjadi soal
adalah kenyataan kesendirian kaum lanjut usia membuat orang mengalami suasana
sepi yang bisa membuat kesepian. Dari sini kaum lanjut usia memang harus
mengolah suasana sepi sendiri menjadi kesempatan leluasa untuk berhening diri.
Ketika ada liburan Hari Raya Nyepi Selasa 12 Maret 2013 saya teringat ketika
mengalami Hari Raya itu di Bali pada tahun 2006. Dengan ingatan itu saya
membuat catatan berkaitan dengan kenyataan kaum lanjut usia. “Bukankah kaum tua pada umumnya banyak mengalami
kesendirian? Bukankah kaum tua banyak
mengalami suasana sepi karena sendiri? Kalau begitu, bukankah Hari Raya Nyepi dapat
menyadarkan kaum tua akan ANUGERAH SUASANA SEPI yang dimiliki secara berlebihan?” Yang saya sebut anugerah suasana
sepi adalah kesempatan berhening diri. Santa Theresa dari Calcuta mengatakan
bahwa keheningan adalah as atau poros kekudusan karena lewat keheningan orang akan
selalu tersambung secara personal dengan Allah. Secara umum pola dinamika olah
rohani Santa Theresa adalah “Dengan hening aku berdoa; Dengan doa aku beriman;
Dengan iman aku mengasih; Dengan kasih kualami kedamaian”. Kedamaian adalah
suasana orang yang selalu mengalami keheningan dalam dirinya. Di dalam catatan
itu saya mengetengahkan olah rohani mencapai keheningan dengan merujuk pada
religiusitas Jawa.
Berkaitan dengan kemampuan hening diri, hal ini mudah terjadi kalau orang dapat mengalami suasana sepi sendiri. Dalam suasana seperti ini orang akan meNeng (diam). Kalau suasana diam ini dijalani, orang dapat mengalami suasana weNing (hening, jernih) sehingga dapat menyadari banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya dengan jernih atau jelas. Kejernihan diri akan membuat orang duNung (paham) apa yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan dan kalau perlu perubahan diri. Proses ini membuat orang meNang (mampu bersusah payah melakukan yang bermakna untuk dirinya). Suasana sepi kalau diterima dan dijalani secara alami akan membawa orang berbudi pekerti luhur karena proses Neng, Ning, Nung, Nang. Dalam hidup keagamaan, ini semua membawa orang berproses menjadi orang kerabat ilahi.
Lamunan iman
Sebetulnya keheningan berkaitan dengan suasana hati. Hati hening dapat dialami dalam keadaan apapun termasuk dalam kesibukan maupun dalam pertemuan-pertemuan. Dan karena hati hening orang tetap dapat membangun sambung batin dengan Tuhan lewat omongan-omongan singkat dalam hati seperti dalam ber-SMS-an. Tetapi dalam kesendirian, yang pada umumnya menjadi anugerah berlimpah bagi kaum lanjut usia, orang dapat makin memperdalam kemesraan dengan Tuhan. Dengan memanfaatkan proses rohani dalam religiusitas Jawa, hal itu dapat berada dalam kisaran sebagai berikut:
· NENG. Karena banyak
berada dalam kesendirian kaum lanjut usia sungguh mendapatkan keleluasaan untuk
meneng
(diam). Di dalam diam kita bisa mengulang-ulang kata-kata yang membuat hati
kita terbukan pada Tuhan. Selayaknya kita memiliki kata-kata keagamaan yang
bisa kita ucapkan seperti mantra. Kata-kata itu misalnya “Tuhan ... Tuhan ...”
atau “Ya Tuhan, aku datang melakukan kehendak-Mu” atau kata-kata lain yang kita
ketemukan dalam khasanah hidup beragama.
· NING. Dari proses
diam, kita dapat menyadari apa yang kita pikir, apa yang kita rasakan, dan apa
yang kita kehendaki. Itu semua menjadi jelas dalam kesadaran diri. Di sinilah
kita mengalami yang disebut wening (jernih bagaikan air kolam tak
tercemar). Inilah keheningan. Dalam keadaan hening inilah segalanya menjadi
seperti bayangan yang tampak jelas dalam benak. Dan dalam keheningan ini kita
omongkan apapun yang terpikir atau terasa atau terkehendaki dengan Tuhan dalam
hati. Dalam hati hening kita dapat asyik ngobrol dengan Dia.
· NUNG. Dalam omongan
asyik dengan Tuhan dalam hati, sadar atau tidak sadar kita mengalami bimbingan
Roh. Dalam bimbingan Roh kita akan dunung (memahami) apa dan mengapa
kita punya pikiran atau perasaan atau kehendak atau campuran (entah keduanya
entah ketiganya) seperti itu. Di dalam bimbingan Roh kita dapat menimbang-nimbang
banyak hal.
· NANG. Karena
memahami semua bayangan yang muncul dari pikiran, perasaan, dan kehendak, orang
dapat menang. Kata menang memang ada konotasi dengan peristiwa
mengalahkan. Sebagai murid Tuhan Yesus kita memang harus berjuang mengalahkan
diri. Tuhan berkata “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23) Kita mampu
menyangkal pikiran, perasaan, dan kehendak yang hanya membuat kita tak dapat
menerima keadaan nyata lanjut usia. Dengan bimbingan Roh kita mampu dan
menerima dengan ceria salib atau keadaan tidak enak harian karena kondisi
lanjut usia. Ini semua terjadi karena kita orang yang ada dalam kuasa ilahi dan
menang berhadapan dengan yang membuat kita berpaling dari Allah. Dengan
demikian kita akan mengalami keceriaan batin (dalam religiusitas Jawa ada
istilah pamudaran yang bermakna
pencerahan) karena mempercayakan diri pada Injil, yaitu warta sukacita yang
diamanatkan Kristus. Kita dapat menjalani warta utama Tuhan Yesus “Kerajaan
Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15)
Doa dalam sendiri berhening diri memang seperti peristiwa
melamun. Tetapi ini adalah lamunan iman. Ini bukan lamunan yang membuat orang
masuk dalam rimba aneka pikiran, perasaan, dan kehendak yang bisa menyesatkan.
Ini adalah lamunan yang membawa kita untuk menghayati diri sebagai “bait Roh
Kudus” (1Kor 6:19)
c. Penghalang utama
Karena doa pribadi, yang
sejatinya masuk dalam kesendirian mengalami kemesraan hubungan batin dengan
Tuhan, penghalang utama adalah kalau orang tak mampu menghayati kesendirian.
Untuk murid Kristus pada umumnya kesendirian iman dapat terjadi dalam
kesempatan misalnya rekoleksi dan retret. Kalau orang tak tahan untuk masuk
dalam diam sendiri, orang amat terhalang untuk sungguh berdoa. Ketidakmampuan
diam sendiri ini dalam diri kaum lanjut usia akan membuat hidup kacau bukan
main. Kaum lanjut usia yang sulit mengalami kesendirian akan mudah sangat
diwarnai oleh keinginan banyak bepergian atau ikut banyak kumpulan. Dia dapat
berdalih no man is an island (manusia
itu bukan sebuah pulau yang terpisah dengan pulau-pulau lain). Atau yang lebih
populer orang dapat berkata “manusia itu makhluk sosial”. Tetapi dalih atau
alasan seperti itu, kalau melupakan bahwa manusia itu pribadi, justru hanya
jadi hambatan dalam hidup bersama. Kaum lanjut usia seperti ini dalam kumpulan
mudah tampil mengganggu orang-orang lain. Anak cucu yang tinggal serumah pun
akan berusaha menyingkir. Dalam dirinya orang lanjut usia demikian jauh dari
sambung batin dengan Allah. Dan kalau “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8), dia
adalah orang lanjut usia yang kosong menghayatan kasih dan penuh dengan
nafsu-nafsu egoistis.
4. Wajib Berpuasa
“Dan
apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka
mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila
engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat
oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada
di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan
membalasnya kepadamu.” (Mat 6:16-18)
a. Bukan kebanggaan
Masa Prapaskah adalah masa Retret Agung. Istilah lain dari
retret adalah samadi. Di dalam olah rohani Jawa biasa disebut bertapa.
Orang-orang yang menyingkir dari pergaulan harian umum disebut pertapa
sebagaimana terjadi pada biarawan-biarawati Katolik yang menekankan kehidupan
kontemplasi misalnya yang ada di Rawaseneng dan Gedana.
Secara umum pada masa seperti itu salah satu yang biasa dijalani adalah kegiatan berpuasa. Dan kegiatan berpuasa ini biasa dimengerti berkaitan dengan kegiatan tidak makan dan minum. Orang yang bisa tidak makan minum pada masa tertentu atau diakui keseriusannya dalam berpuasa sehingga akan diakui sebagai orang sungguh beragama. Karena tidak makan minum dalam kurun waktu tidak sebentar, orang dapat mengalami kondisi lemah paling tidak dalam tampilan ragawi. Karena tampilan seperti ini bisa membuat orang lain tahu bahwa dia sedang berpuasa dan akan sungguh mendapatkan pujian dan sanjungan sebagai orang yang serius beragama. Karena puasa dengan tanda-tanda seperti itu menghadirkan kebanggaan, bisa terjadi kalau tubuh tetap segar meski mengurangi atau tidakmakan minum, orang dapat merekayasa tampilan agar tampak berkondisi lemah. Tampilan-tampilan rekayasa seperti ini, apalagi kalau sebetulnya tidak menjalani puasa, amat dikecam oleh Tuhan Yesus. Kegiatan berpuasa bukanlah eksposisi kebaikan. Bahkan Tuhan Yesus menuntut agar dalam berpuasa memiyaki rambut dan mencuci muka sehingga tampak segar walau lapar dan haus.
Puasa
alamiah kaum lanjut usia
Di dalam aturan tentang puasa ada aturan Gereja bahwa yang berusia 60 tahun keatas bebas dari kewajiban berpuasa. Gereja membedakan antara puasa dan pantang. Meskipun demikian secara rohaniah, karena Kitab Suci adalah landasan dasar hidup rohani, puasa adalah kewajiban untuk semua orang. Maka yang perlu dicari adalah bagaimana kaum lanjut usia harus menjalani kewajiban berpuasa.
Matiraga kembangkan “habitus baru”
Bagaimanapun juga puasa adalah tindakan yang mengakibatkan kondisi raga terasa tidak nyaman, tidak enak, dan tidak segar. Inilah mengapa puasa juga disebut matiraga. Puasa selalu menyangkut segi jasmaniah. Tetapi dalam masa Prapaskah puasa dijalani dalam rangka Retret Agung. Dan yang harus disadari adalah bahwa setiap retret, agung atau tidak agung, adalah latihan rohani, latihan hidup dalam bimbingan Roh Kudus. Orang beriman akan yakin dalam bimbingan Roh dia akan dinamis, selalu baru dan diperbarui, sehingga mengalami suasana damai sejahtera dalam hidupnya.
Puasa 40 hari sebagai Retret Agung terutama menjadi proses pengembangan diri untuk semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya. Dalam hal ini kaum lanjut usia dalam puasa diajak untuk menyadari perkembangan situasi hidupnya secara kongkret kini dan di sini. Hal-hal apa yang saat ini sudah ada dalam keadaan baik? Hal-hal apa yang menjadikan diri ada dalam kondisi tidak baik? Dalam proses selama 40 hari lewat berbagai permenungan dan doa dengan terang iman selama Prapaskah, kaum lanjut usia melatih diri untuk mampu meneladan Tuhan Yesus yang mengalami kemuliaan Paskah lewat salib, yaitu derita dan wafat-Nya. Kalau kita sudah ada dalam keadaan baik, kita berupaya menemukan pengembangan sikap dan tindakan apa untuk mempertahankannya. Kalau keadaan kita tidak baik, kita berupaya menemukan perubahan dan melatih diri untuk menghayatinya. Dengan demikian puasa dalam masa Prapaskah menjadi proses melatih kebiasaan baru atau habitus baru untuk menjadi orang lanjut usia yang segar ceria sekalipun lewat susah derita selama 40 hari.
Limpahnya penghayatan puasa
Kalau puasa juga menjadi kegiatan matiraga, untuk hal ini kaum lanjut usia memiliki kesempatan yang amat luas. Sesehat apapun seorang lanjut usia, secara ragawi sudah mengalami pelemahan dibandingkan dengan usia-usia sebelumnya. Dia sudah harus mewaspadai kondisi badan agar tetap segar. Apalagi kalau dilihat secara umum, kaum lanjut usia sudah mengalami kerawanan fisik sehingga penyakit(-penyakit) mudah menjangkiti. Dalam hal ini kerap muncul yang disebut dengan diet atau pantang makanan atau minuman tertentu demi menjaga kondisi tubuh tidak dikuasai oleh perkembangan penyakit tertentu. Tentang pantang, yang sudah lanjut usia tanpa penyakit pun juga harus mulai mengurangi santapan ini dan itu agar terhindar dari penyakit yang biasa menjadi idapan lanjut usia.
Diet atau pantang asupan itu
dapat dijalani sebagai tindakan berpuasa bagi kaum lanjut usia. Orang berlanjut
usia selama masa Prapaskah melatih diri meninggalkan menu yang mungkin
sebelumnya menjadi favorit tetapi kini membahayakan kondisi fisiknya. Dia
berlatih membiasakan diri menyantap makanan-makanan yang dipandang amat sesuai
untuk kebugaran tubuh sesuai dengan realitas masa kini. Ini adalah pelatihan
menghayati kebiasaan atau habitus
baru. Apalagi kalau makanan-makanan sehat untuk masa kini dulu tidak pernah
masuk dalam seleranya. Di sini kegiatan santap menu baru menjadi jalan
pertobatan karena berbalik mengikuti kehendak kebaikan. Dengan demikian,
sekalipun secara yuridis formal sudah bebas berpuasa, kaum lanjut usia justru
masuk dalam keleluasaan menjalani matiraga berlatih mengikuti Tuhan Yesus
Kristus sesuai dengan perkembangan dirinya. Latihan rohani ini, karena tanpa
penyangkalan batin orang tak akan mampu menjalani olah ragawi dalam berpuasa,
akan membuat orang meraih kebiasaan baru yang menjadi kebiasaan perilaku sesudah
masa Prapaskah.
b. Penghalang utama
Bagaimanapun juga puasa menjadi ungkapan untuk tindakan menyangkal diri dan memikul salib berupa ketidakenakan. Ini dapat dihayati sebagai hal yang membuat orang merasa tidak bebas. Bagi orang lanjut usia yang inginnya mengikuti kehendak sendiri, dia dapat memperoleh alasan syah secara Gerejani. Dia bisa berkata bahwa “Aku kan sudah umur 60 tahun, jadi sudah bebas dari puasa”. Kaum lanjut usia memang sudah bebas dari puasa yang diatur oleh Keuskupan. Dan aturan ini dapat menjadi dalih untuk tidak bermatiraga.
Tetapi bagaimana dengan puasa
sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban beragama yang sesuai dengan realitas diri
sebagai kaum lanjut usia? Untuk membangun kebiasaan baru yang menyegarkan badan
ada hal yang menjadi hambatan besar. Kaum lanjut usia bisa memiliki selera
berat terhadap makanan atau minuman tertentu. Jeratan selera ini dapat
menggagalkan untuk membiasakan diri dengan menu lain bahkan baru di luar
kebiasaan makan. Apalagi kalau yang baru itu amat bertentangan dengan selera
lidah.
[1] Dalam tembang pucung (salah satu model kidung tradisional Jawa) ada ajaran: Ngèlmu iku; Kelakoné kanthi laku; Lekasé lawan kas; Tegesé kas nyantosani; Setya budya pangekesé dur angkara (Kebijaksanaan itu; Terjadi sebagai buah perjuangan hidup sehari-hari; Dasarnya adalah kas; Kata kas berarti daya batin; Kesetiaan dalam segala tindakan menjadi penangkal kejahatan).
No comments:
Post a Comment