Pada jam 18.46 Sabtu 20 Februari 2021 ada WA salah satu famili dalam HP saya. Dia meminta saya untuk memimpin misa peringatan arwah tujuh hari dari bapaknya yang baru meninggal. Begitu mendapatkan pesan WA terbayanglah almarhum di benak saya. Beliau adalah sosok yang ketika wafat mencapai usia 93 tahun. Dulu saya masih sering berjumpa beliau ketika ada keperluan dengan misa dari salah satu sanak keluarga besar. Tetapi pada tahun-tahun terakhir saya jarang sekali berjumpa sekalipun dalam misa yang diselenggarakan oleh anak atau cucu beliau. Perjumpaan hanya dalam perhelatan perkawinan saudara dan itupun tidak sampai lima kali. Ternyata beliau sudah harus berkursi roda yang harus dibantu oleh pendorong. Kondisi fisik memang sudah turun drastis meskipun daya ingatnya masih cukup segar. Bayangan almarhum yang sudah termasuk uzur masuk dalam doa dini hari saya pada Minggu 21 Februari 2021 sekitar jam 01.30. Saya memang termasuk tahu beberapa hal yang menyangkut kehidupan almarhum. Dalam doa yang tercampur renungan saya bertanya kepada diri saya “Apa yang akan saya omongkan besuk dalam misa tujuh hari wafat beliau?” Ternyata pertanyaan ini justru membawa saya pada pemikiran sekitar usia panjang. Puji Tuhan, sekalipun umur 70 tahun dapat dipandang masih muda oleh yang 80an atau 90an tahun, saya sudah boleh masuk golongan lansia. Puji Tuhan juga, sekalipun masih ada rama-rama usia 70an dan 80an ikut berkarya di paroki, saya sudah menjadi bagian para rama yang bebas dinas resmi pastoral karena tinggal di rumah tua. Dengan kondisi kongkret hidup ini barangkali saya boleh mendapatkan karunia pemahaman tentang penghayatan usia panjang 80 tahun keatas.
Saat Harus “Manut lan Legawa”
Pada saat ini saya dan teman-teman serumah ada dalam kesediaan berpindah tempat tinggal dari Domus Pacis Puren di Pringwulung ke Domus Pacis Santo Petrus di Kentungan. Kami serumah pernah dikondisikan siap pindah pada bulan Agustus 2020 ke rumah tua di Kentungan yang rencananya diresmikan dan diberkati pada bulan September 2020. Beberapa teman sudah mengemas barang-barangnya dengan dos-dos. Karena tahu bahwa kamar di Kentungan tidak seluas di Puren, beberapa teman memindahkan dos-dos ke rumah keluarga. Ternyata rencana itu diundur. Kemudian ada pemberitahuan kami harus siap pindah pada bulan Oktober atau November 2020. Dan pemberitahun inipun tidak diteruskan dengan kepastian.
Menuju tanggal 15 November 2020
Sesudah menunggu beberapa minggu direktur rumah tua tempat kami tinggal membawa berita sesudah mengikuti rapat para penanggungjawab pembangunan Domus Pacis Santo Petrus. Kami diminta mulai memindahkan berbagai barang pada tanggal 15 Desember 2020. Pada tanggal 21 Desember tahun itu kami sudah mulai tidur di Kentungan. Saya diminta oleh direktur untuk membantu mencari transportasi. Dengan bantuan seorang relawan saya memesan dua truk untuk mengusung barang-barang milik masing-masing rama dan milik bersama. Peristiwa ini saya tulis dalam https://domuspacispuren.blogspot.com pada tanggal 18 November 2020 dengan judul Pengosongan Mulai 15 Desember 2020. Isinya adalah sebagai berikut :
Memang, kamar-kamar untuk para rama tua di bangunan Domus Pacis
Santo Petrus Kendungan lebih sempit dibandingkan dengan kamar-kamar di Domus
Pacis Puren. Kalau di Puren luasnya 6X6M, di Santo Petrus 4X6M. Kamar mandi
termasuk WC di Santo Petrus jauh lebih sempit dibandingkan dengan Puren. Di
Puren selain shower ada bak air, sementara di Santo Petrus hanya shower. Di
Puren ada tempat duduk untuk para rama yang sudah tidak dapat berdiri untuk
mandi, di Santo Petrus tidak ada. Tanpa menghitung berbagai fasilitas lain, hal
itu sudah dapat membuat kenyamanan yang dialami di Domus Pacis Puren akan
hilang bagi 9 orang rama tua yang 8 diantaranya sudah difabel dan dalam
mobilitas berkursi roda.
Tetapi, bagaimanapun juga Domus Pacis Santo Petrus adalah realita
bagi para rama Domus Pacis Puren yang harus dihadapi. Hidup dalam realita jauh
lebih membahagiakan daripada sebaik apapun tapi sudah bukan hal nyata. Para
rama Domus Pacis Puren harus pindah ke Santo Petrus. Puren sudah ditetapkan
menjadi kantor Kevikepan Yogyakarta Timur semenjak 7 Oktober 2020. Kepindahan
yang sudah direncanakan pada bulan September 2020 harus tertunda-tunda. Peresmian
Domus Pacis Santo Petrus yang sudah direncanakan pada 1 Oktober 2020 juga
diundur. Bangunan, yang kata Rm. Agoeng dijanjikan selesai pada Juli 2020,
hingga Oktober dikatakan belum siap. Barangkali masih ada tetapi-tetapi lain di
samping tetapi ini.
Maka, karena merasa tidak nyaman
terhadap penundaan berkali-kali dan soalnya bukan masalah pembeayaan, Rm.
Bambang membuat ulah lewat suaranya yang mungkin terasa tidak enak ditangkap
oleh mereka yang tersangkut tanggungjawab pembangunan gedung Domus Pacis Santo Petrus. Pertama,
dengan Rm. Agoeng. Kebetulan pada tanggal 31 Oktober 2020 jam 12.31 dia disapa
lewat WA oleh Rm. Agoeng, Ketua Unio KAS persaudaraan para imam praja Keuskupan
Agung Semarang. Maka ada sambung dialogal antara Rm. Agoeng dan Rm. Bambang. Rm
Agoeng: Sehat Rama? Bambang Sutrisno: Biasaaaaa he he he. Rm Agoeng:
Hihihi. Bambang Sutrisno: Siaga hijrah ke Petrus. Barang2 pun mlebu dos. Rm
Agoeng: Wah sami niki, kula nggih ajeh hijrah ke gdg baru (sama,
saya juga akan hijrah ke gedung baru Kevikepan Yogyakarta Barat). Bambang
Sutrisno: Nggen njenengan isa cepet dadi amargi mboten ngangge tekanan
seni nan keindahan. Sing terang kula suk kudu sedia lungguhan ngge adus he he
he (Tempat Anda dapat cepat selesai karena tidak pakai tekanan seni
nan keindahan. Yang jelas saya harus menyiapkan tempat duduk untuk mandi he he
he). Rm Agoeng: Hahaha leres punika. Dereng dados ning pun meh
dinggeni kok Rama (Betul. Tempat saya juga belum selesai tetapi sudah
dapat ditempati). Bambang Sutrisno: Jan2e Kula nggih iklas mapan
Kentungan sambi ngertos penyelesaian bangunan (Sebenarnya saya juga
ikhlas tinggal di Kentungan sambil menunggu penyelesaian pembangunan). Rm
Agoeng: Moga november ini sampun oke nggih (Semoga November
sudah oke ya). Bambang Sutrisno: Kadosa pundi Kula sampun pekewuh
ngundur2 relawan kangge penyediaan masakan (Bagaimanapun juga saya
merasa tidak enak terhadap para relawan penyedia masakan di Puren karena terus
ada pengunduran) Rm Agoeng: Wakakakaka. Untung kalian priyayi2
sae (Untunglah mereka adalah orang-orang baik). Bambang
Sutrisno: Sinaosa sae Ning nggih mboten sae Yen terlalu dimanfaatkan.
Niki Raos kula (Walau baik tetapi tidak baik kalau terlalu
dimanfaatkan. Ini menurut perasaan saya). Rm Agoeng: Siap Rama. Kedua,
dengan Rm. Hartanta. Beliau adalah direktur Domus Pacis Santo Petrus yang
diangkat oleh Uskup Agung Semarang.
Pada waktu makan pagi tanggal 12 November 2020 Rm. Hartanta berkata bahwa hari
itu akan rapat dengan panitia pembangunan Domus Pacis Santo Petrus di
Kentungan. Rm. Bambang mendesak agar paling lambat minggu terakhir Desember
2020 para rama Domus Pacis Puren sudah tinggal di Santo Petrus. Rm. Bambang
kuatir kalau masih ditunda akan ada penundaan lagi entah Januari atau Februari
2021 dengan alasan yang tampaknya amat penting. Ketiga,
dengan Rm. Dwi Harsanto. Ketika Rm. Dwi Harsanto mengirim youtube pada tanggal
12 Oktober 2020 ke Rm. Bambang tentang penjagaan diri agar tidak sakit karena
resesi akibat Covid-19, Rm. Bambang menanggapi "Aku ya menjaga diri agar
ora sakit karena pindahe ke Kentungan ditunda-tunda. Apapun alasane, aku merasa
mereka yang jadi tokoh-tokoh pembangunan gak pernah memperhitungkan kami di
Puren. Kami kan siap akan dapat fasilitas kamar dan kamar mandi yang jauh dari
yang kami tempati hingga saat iki. Tampaknya mereka tak memperhitungkan
kami-kami yang sudah lempoh sehingga harus bagaimana kalau mandi. Tapi kami
siap "TAAT" menjalani "PUTUSAN USKUP". Tapi mengalami
pendundaan-pendundaan itu, sungguh membuat saya amat tidak nyaman. Dan mereka
tak pernah jumpai kami kaya Jaka Wi dhek arep nggusur orang-orang neng Sala
biyen. Ini sekedar curhat pada Vikep Kategorial." Rm. Dwi Harsanto
menjawab “siap maturnuwun Rama. Saya sebagai kuria juga, perhatikan ini dan
salurkan melalui jalur yg bisa saya lakukan”.
Dan yang terjadi? Yang terjadi
barangkali memang hasil pertimbangan paraanggota Panitia Pembangunan Domus
Pacis Santo Petrus. Kalau ada kata-kata usil Rm. Bambang, hal itu hanya
kebetulan saja. Ternyata pada tanggal 12 November 2020 itu pada waktu makan
malam Rm. Hartanta memberi informasi bahwa dari rapat di Kentungan akhirnya
disetujui pada Selasa tanggal 15 Desember 2020 Domus Pacis Puren mulai
dikosongkan. Semua barang milik para rama dan fasilitas Domus Pacis Puren mulai
dipindahkan ke bangunan baru Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan. Berdasarkan
informasi ini Rm. Bambang pada jam 20.30 mengirim WA ke Rm. Dwi Harsanto
"Berita bagus. Tgl 15 Des mulai pindahan. Diperkirakan tgl 20 Des wis turu
neng Kentungan" yang langsung mendapatkan tanggapan "sokurlah
hahaha... wau kula kontak bapak uskup" (syukurlah ha ha ha ... tadi saya
kontak ke bapak uskup). Dan di dalam perkembangan akhirnya ada kesepakatan para
rama Puren akan mulai tidur di Santo Petrus pada Senin 21 Desember 2020. Karena
pada Selasa 17 November 2020 ketika makan pagi Rm. Hartanta omong dimana bisa
cari truk untuk angkut-angkut barang dari Puren ke Kentungan, Rm. Bambang
menyanggupi untuk membantu mencarikan. Inilah mengapa Rm. Bambang pada hari ini
jam 07.56 mengirim WA ke Mas Tian, anak Bu Rini relawati Domus Pacis, "Mas
Tian, antara tanggal 15-20 Desember kami harus sudah usung-usung mengosongkan
Domus Pacis Puren untuk dibawa ke bangunan baru di Kentungan. Apa isa
nggolekke sewan 2 truk? Tentu juga tenaga nggo usung-usung (Bisakan
mencarikan sewaan 2 truk termasuk tenaga untuk mengusung?). Beaya, kami manut (ikut
saja)." Terhadap WA Rm. Bambang Mas Tian menjawab "bisa Mo, saya
infokan ke orang yang biasa saya pakai buat materialan Romo." Selain bukan
toko Mas Tian memang juga menjadi kontraktor bangunan rumah.
Sebuah kepastian?
Ketika kami para rama Domus Pacis Puren sudah siap siaga untuk pindah ke Kentungan, pada semingguan pertama Desember 2020 datang kabar dari direktur bahwa Mgr. Rubiyatmoko meminta pindahan ditunda. Dan pada tanggal 7 Desember 2020 beliau datang di kamar saya untuk memberi tahu kalau kami harus menunggu semuanya beres lebih dahulu. Kami termasuk direktur memang amat kecewa karena sudah beberapa kali seperti mendapatkan janji harapan palsu. Pada hari itu saya mengirim pesan WA pembicaraan Uskup dengan saya ke direktur yang saya tutup dengan kalimat “Ngandikane beliau badhé manggihi panitia pembangunan kalian Unio” (Bapak Uskup mengatakan akan berjumpa lebih dahulu dengan panitia pembangunan dan pengurus Unio persaudaraan para rama praja Keuskupan Agung Semarang). Terhadap pesan ini Rama Direktur menanggapi “Kula isin romo. Wong sampun direncanakan èh molor malihmolor malih” (Saya malu, rama. Semua sudah direncanakan ternyata molor-lolor lagi).
Lima hari kemudian, tanggal 12 Desember 2020 jam 10.00, terjadilah pertemuan yang dikatakan oleh Bapak Uskup di atas. Ini adalah pertemuan daring via zoom atas undangan Mgr. Robertus Rubiyatmoko yang diikutioleh 10 orang. Tema pembicaraan adalah “Menejemen Domus Pacis Santo Petrus Kentungan dan Rencana Perpindahan Romo-romo Sepuh”. Dari berbagai macam pembicaraan dari jam 10.00 hingga 13.00, bagi saya yang paling jelas adalah waktu perpindahan rama-rama lansia yang menunggu pemberitahuan dari Uskup. “Maka kepastiannya adalah belum pasti” adalah kata-kata yang saya simpulkan dari keputusan Uskup. Dengan ini kalau setiap kali ada yang bertanya, biasanya lewat media sosial, “Apa sudah pindah ke Kentungan?”, saya hanya menjawab “Belum”. Dan kalau ada yang bertanya “Kapan”, jawab saya adalah “Tungguh komando Uskup”.
Sebuah ketaatan
Kebelumpastian hari perpindahan tentu saja harus diterima sebagai kenyataan. Tetapi bagi kami para rama di Domus Pacis Puren ada kata-kata yang selama beberapa saat menjadi refren kerap diucapkan terutama pada waktu jumpa makan bersama tiga kali sehari. Bapak Uskup ketika menyampaikan putusan tetang “kepastiannya adalah belum pasti” diakhiri dengan kata-kata yang meminta kami para rama di Puren untuk “Manut lan legawa” (Taat dengan keikhlasan hati). Maka setiap kali ada di antara kami rama Domus Pacis Puren mempersoalkan atau agak memasalahkan hari perpindahan, hal ini disambut dengan kata-kata “Pokoké manut lan legawa” (Pokoknya taat dengan ikhlas).
Saya harus jujur bahwa untuk “manut lan legawa” bukanlah hal mudah. Ketika diberi tahu bahwa perpindahan bulan Desember 2020 tidak diperbolehkan, hati saya sebenarnya menjadi cukup panas bergejolak. Apalagi dengan kata kunci “Manut lan legawa”, rasanya menjadi amat berat. Terhadap beberapa orang saya memang berkata “Untunglah ada janji ketaatan sebagai seorang imam”. Tetapi untuk “legawa”? Saya sungguh merasa sulit untuk ikhlas. Maka ketika berjumpa Ketua Unio Keuskupan Agung Semarang dan omong tentang keputusan Uskup tentang perpindahan para rama lansia ke Kentungan, saya mengatakan “Kula manut ning mboten legawa” (Saya taat tetapi tidak ikhlas).
Belajar Realitas Lansia
Ketika semua itu masuk dalam doa dan renungan Minggu 21 Februari 2021 sekitar jam 01.30, saya seperti disadarkan salah satu segi orang yang sudah masuk golongan lansia. Pada umumnya kaum lansia sudah masuk golongan bebas kerja. Sayapun masuk golongan kaum pensiun. Apalagi dengan kondisi difabel dan dengan penglihatan yang sudah tidak tajam tak dapat bepergian sendiri dengan mobil atau motor. Realita seperti ini membuat paling tidak teman-teman rama serumah, karena tampaknya kondisi mereka lebih berat dibandingkan saya, ada dalam banyak hal harus diurus oleh orang lain yang dalam hal ini adalah karyawan. Kami dapat berkeinginan ini dan itu, tetapi yang menentukan adalah direktur rumah.
Bukan penentu kebijakan
Kalau saya pada bulan Desember 2020 mengalami hati panas bergejolak, di dalam permenungan saya menyadari bahwa saya berada dalam kuasa Uskup dan panitia. Saya tidak dapat menentukan sendiri kapan harus pindah ke Kentungan. Sebagai lansia di rumah tua kami memang berada dibawah kebijakan Keuskupan. Untuk hal-hal khusus harian kami dalam pengelolaan direktur. Saya sendiri kalau memiliki keperluan akan menemui beliau lebih dahulu. Misalnya, saya diminta untuk memimpin misa. Dengan izin direktur saya dapat memperoleh salah satu karyawan untuk mengantar.
Sejauh saya ketahui dari berbagai pertemuan dengan kelompok-kelompok lansia, realita sudah tak dapat menentukan sendiri dalam banyak hal juga banyak dialami oleh kaum lansia. Banyak lansia yang secara praktis berada dalam semacam kekuasaan anak atau cucu atau siapapun yang menemani. Kaum lansia yang sudah bermasalah dalam kekuatan fisik sungguh tergantung pada orang lain. Terhadap realita seperti ini sikap “Manut dan legawa” harus berkembang dalam diri lansia agar dapat hidup sumèlèh, yaitu sikap “lepas bebas merdeka tidak memaksakan kehendaknya sendiri, sebaik apa pun kehendak kita” (http://perduki.org/2019/05/14). Dengan “Manut dan legawa” seorang lansia akan mengalami keceriaan batin atau bahagia dalam hidup.
Lansia murid Kristus
Di atas saya menceriterakan tentang sulitnya untuk “Manut dan legawa”. Memang, makin lama saya memang makin bisa legawa karena dapat melepaskan yang saya kehendaki. Tetapi kapan keikhlasan itu terjadi, saya tidak menyadarinya. Barangkali itu datang pelan-pelan sebagai buah dari setiap doa batin melaporkan hati panas saya kepada Tuhan pada setiap dini hari dan setiap saat saya ingat perintah untuk”Manut dan legawa”. Entah bagaimana saya dapat menerima putusan Uskup sebagai kehendak ilahi. Di dalam doa renungan saya bertanya-tanya apakah ini juga menjadi penghayatan kata-kata Tuhan Yesus Kristus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Penyangkalan diri saya mengerti sebagai sikap tidak mengikuti kehendak diri. Sadar atau tidak sadar saya dibawa untuk menerima kata-kata Tuhan lewat perintah Uskup sehingga tanpa terasa boleh mengalami seperti yang dikatakan oleh Bunda Maria “aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Sayapun boleh menghayati hati panas bergejolak mewarnai ketidak enakan diri sehingga dapat memahami kata-kata Tuhan Yesus ketika menghadapi derita salib “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39). Dengan proses batin itu saya menyadari adanya pembelajaran relung hati untuk menjadi murid Tuhan Yesus Kristus. Saya menyadari bahwa masa lansia bukanlah masa yang sudah beres menjadi sosok teladan bagi kaum muda atau yang lebih muda. Masa lansia tidak membuat seseorang dengan sendirinya menjadi sumber kebijakan atau pemberi petunjuk baik bagi generasi yang lebih muda. Sekalipun sudan lansia orang tetap harus menjaga dan mengembangkan diri. Gereja sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban para murid Kristus tentu juga termasuk yang sudah berusia lanjut. Pembelajaran hidup beriman adalah proses berkelanjutan dari kanak-kanak, remaja, muda, dewasa, hingga lanjut usia.
Karunia Usia Lanjut
Bagi saya kondisi lansia yang paling memprihatinkan terjadi kalau orang menderita post power syndrome. Dia pernah menjadi sosok yang memiliki kedudukan atau jabatan yang memberikan kekuasaan yang bisa memerintah orang lain. Setidak-tidaknya orang pernah menjadi orang tua yang bisa mengatur dan memerintah anak. Jiwa berkuasa atau dapat menentukan orang lain dapat terus menjangkiti hingga usia lanjut. Padahal di usia lanjut pada umumnya orang sudah mengalami kemerosotan fisik dan sudah harus meninggalkan masa kejayaannya. Semua ini sebenarnya juga saya alami. Seringkali, kalau menghadapi hal-hal yang tidak cocok dengan gagasan saya, dalam hati saya muncul dorongan mengubah. Saya sering merasa direndahkan kalau ada orang lewat didepan saya dan tidak menyapa. Saya sering mau mengatur rumah sesuai idealita saya. Padahal saya bukan pengurus. Saya adalah bagian dari anggota rumah yang diurus oleh petugas yang diangkat dengan SK Keuskupan. Meskipun demikian, di dalam realita saya selalu berusaha untuk mendengarkan dan memahami kebijakan pimpinan rumah. Tampaknya hal ini tertangkap oleh pengurus yang berada serumah. Bahkan Rm. Agoeng, Ketua Unio Keuskupan Agung Semarang yang pernah tinggal cukup lama di Domus Pacis Puren sebagai pengurus, ketika memimpin Misa Ulang Tahun Imamat saya yang ke 40 di Medari mengatakan bahwa saya adalah sosok yang memiliki ketaatan pada pimpinan.
Usia lanjut itu kesempatan
Ketika saya mencoba merenungkan capaian perasaan ikhlas yang menyertai ketaatan sehingga bisa “manut dan legawa”, saya menemukan dua hal yang sungguh memudahkan atau menjadi fasilita pengembangan batin.
Berkat paksaan kelansiaan
Kalau saya memakai istilah “paksaan”, ini adalah realita yang sering saya alami setelah masuk golongan lansia dan bahkan tinggal di rumah tua. Saya sudah tidak memiliki kedudukan dalam jajaran kepengurusan dan kepemimpinan. Saya sudah tidak dapat membuat keputusan untuk orang lain atau untuk kehidupan bersama. Bahkan untuk hal-hal penting yang menyangkut keberadaan saya, saya menjadi bagian dari yang hanya menerima keputusan yang biasanya tanpa adanya proses ditanya atau dijumpai lebih dahulu. Saya adalah yang harus menerima dan menjalani.
Saya pikir banyak lansia yang sudah tidak bekerja dan banyak ditanggung oleh anak dan atau cucu sedikit banyak juga mengalami keterpaksaan seperti itu. Bagi yang hatinya berontak dan tidak menerima keadaan, dia dapat mengalami derita batin bahkan kefrustasian. Apalagi kalau ditambah dengan sikap irasional merasa masih memiliki wibawa menentukan karena pernah menjadi penguasa dengan jabatan dan atau posisi sosio-senioritasnya. Orang dapat menderita ketidaknormalan jiwani karena post power syndrome. Ini adalah penyakit kejiwaan yang memudahkan orang sakit hati dan marah terhadap lingkungannya. Dia juga akan mudah menyusahkan orang-orang lain karena masih mau menang dan berkuasa padahal tidak memiliki wewenang.
Meskipun demikian kondisi kelansiaan seperti itu bagi orang yang sungguh mau ikut Tuhan Yesus justru menjadi berkat. Dengan adanya perubahan sosial karena faktor menurunnya daya raga dan jiwa serta hilangnya kedudukan yang memberi wewenang menentukan orang lain, hal ini menjadi kesempatan untuk menghayati dinamika iman. Bukankah dengan beriman orang akan mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat? Dalam kelansiaan orang tetap terus belajar untuk menghayati hidupnya sesuai dengan realitas. Apalagi kehidupan selalu berubah sesuai perubahan zaman. Lansia yang dibentuk dengan banyak pola masa lalu tetap akan belajar untuk menempatkan diri dalam kehidupan zaman kini. Bahwa kami kaum lansia akan banyak mengalami susah payah, justru inilah jalan penghayatan pola kemuridan iman. Ini sungguh menjadi berkat bagi lansia untuk dalam kelansiaannya tetap dapat menjadi pewarta iman. Di sini saya teringat akan ayat Kitab Suci yang selalu dibacakan dalam Perayaan Minggu Palma :
“Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi. Tetapi Tuhan ALLAH menolong aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu.” (Yes 50:4-7)
Berkat doa batin
Satu hal yang biasa terjadi dalam menghadapi apapun baik yang menyenangkan atau tidak mengenakkan, saya membawanya kepada Tuhan dalam hati. Saya sering ngomel mengomongkan yang mengecewakan di hadapan-Nya. Itu saya lakukan dalam doa pribadi. Ketika sedang sibuk seperti mengetik atau nonton TV, begitu teringat akan yang menjengkelkan atau yang menyenangkan, saya juga mengomongkan secara singkat seperti model SMS kepada-Nya. Saya yakin, ketika hati panas bergejolak karena harus “Manut dan legawa”, bara dalam batin surut tergantikan rasa tak terganggu karena elusan Roh Kudus buah dari doa batin.
Bagi saya orang dapat saja sudah biasa menjalani doa batin tanpa sengaja. Dalam hal ini barangkali tidak sedikit lansia yang sudah menjalani doa batin, yaitu dengan berbicara dalam hati tentang keadaannya. Ketika hati merasa tidak nyaman, misalnya atas perkataan anak atau cucu atau siapapun yang serumah, dia menyimpan segalanya dalam hati. Dia tidak mengomongkan dengan orang lain. Semua menjadi kata-kata dalam hati dan masuk dalam pikiran sehingga dipikir-ikir dan dirasa-rasakan. Biasanya sosok yang demikian mampu memproses gejolak hatinya menjadi rasa sumèlèh, yaitu hati yang lepas dari dorongan memaksakan kehendak diri. Ini semua adalah karya ilahi, karena begitu orang omong dengan hatinya dia berada dalam dialog dengan Roh Kudus. Santo Paulus dalam hal ini mengatakan bahwa kesejatian orang adalah “bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu” (1Kor 3:16). Sebagai salah satu ciptaan, setiap manusia memiliki hidup dari hembusan nafas ilahi (band Kej 2:87). Dengan demikian tindakan menyimpan dalam hati dan menimbang-nimbang segala yang terjadi sungguh menjadi dinamika rohani sebagaimana terjadi dalam diri Bunda Maria yang “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:20).
Karunia Ceria Usia Lanju
Derap dinamika batin sebagaimana dipaparkan diatas ternyata membuat hati tersiram dengan keceriaan. Rasa sumèlèh membuat saya sadar atau tidak sadar berada dalam bimbingan Roh. Keceriaan ini barangkali juga tertangkap oleh orang lain. Saya sering mendengar suara yang mengatakan “Rama Bambang itu kok gembira terus, ya”. Dalam hati saya kerap tertawa karena saya merasa bahwa orang tidak tahu bagaimana sejatinya saya juga mengalami susah gulana dalam beberapa kejadian. Tetapi dengan kesadaran sebagaimana saya sampaikan dalam doa renung tadi, barangkali ini adalah realita dari kepenuhan sukacita sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus (band Yoh 15:10-11). Saya yakin kaum lansia, yang biasa menyimpan berbagai ketidakenakan dalam hatin dan menjadikan semua sebagai dialog batin, juga mengalami hati berseri. Segala susah derita akan menjadi jalan untuk berada dalam penyertaan Tuhan Yesus yang sekalipun “adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibr 5:8). Proses seperti ini memang bukan melulu kekhasan kaum lansia. Para murid Kristus akan selalu berada dalam pembelajaran iman sesuai dengan perkembangan situasi hidup. Dan dinamika batin ini bagi lansia juga akan tetap membuatnya maju dan berkembang dalam buah-buah iman. Pemazmur melukiskan ini sebagai berikut :
Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar, untuk memberitakan, bahwa TUHAN itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan pada-Nya. (Mzm 92:13-16)
Puren, 22 Februari 2021
No comments:
Post a Comment