Friday, June 13, 2025

Sarasehan Dengan Lingkungan Santa Maria Paroki Banteng

"Engko kowe neng ngendi?" (Nanti kamu akan kemana?) tanya Rm. Suntara ke Rm. Bambang pada makan siang Jumat 13 Juni 2025. Ketika Rm. Bambang menjawab "Salah siji Lingkungan neng Kapel Biara Scholapio" (Ke salah satu Lingkungan di Kapel Biara Scholapio), Rm. Suntara bertanya lagi "Ngendi kuwi?" (Dimana itu?). Rm. Bambang hanya menjawab bahwa itu di Paroki Banteng. Rm. Bambang memang belum tahu itu Lingkungan mana. Rm. Bambang hanya tahu dari gambar yang muncul di pesan WA  Bu Neni, perawat home care RS Panti Rapih yang biasa datang setiap Rabu di Domus Pacis. Suami Mbak Neni adalah ketua dari Lingkungan itu. Dalam gambar tampak foto Rm. Bambang yang dinyatakan akan hadir pada 13 Juni 2025 untuk berbicara tentang Lahirnya Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang. Ternyata pada saat ini ada pertemuan seminggu sekali di Lingkungan-lingkungan Paroki-paroki Keuskupan Agung Semarang untuk menyambut ulang tahun Keuskupan ke 85 yang akan dirayakan pada Minggu 29 Juni 2025 di Semarang.

Rm. Bambang dijemput menuju Lingkungan Santa Maria, Paroki Banteng. Kata Mbak Neni itu adalah Lingkungan kecil. Setelah lagu Yubelium dan doa yang dipimpin oleh Mbak Neni, waktu diserahkan kepada Rm. Bambang. Rm. Bambang memulai dengan pertanyaan "Bagi Anda, hal apa yang paling mencolok terjadi di Keuskupan Agung Semarang". Dari jawaban spontan yang muncul ternyata para peserta sarasehan mengatakan suasana kehidupan umat yang hangat dalam kebersamaan dan aktif dalam kegiatan-kegiatan. Dari sini Rm. Bambang kemudian berkata "Peranan awam dalam kehidupan Gereja Keuskupan Agung Semarang memang amat besar". Kemudian Rm. Bambang berkisah bahwa dari tahun 1807 hingga 1900 jumlah umat di Wilayah yang kini disebut Keuskupan Agung Semarang ada 8.508 orang. Dari jumlah itu jumlah umat setempat ada 328 (3,86%) termasuk 23 orang Cina Peranakan yang tinggal di Semarang (18 orang) dan Magelang (5 orang). Sesudah peran Rm. van Lith berjalan pada tahun 1928 jumlah umat setempat meningkat menjadi 40,42%. Bahkan pada tahun 1940, dari jumlah umat 40.616 orang, ada 30.460 orang (61,50%) berasal dari penduduk setempat. Mayoritas umat berasal dari penduduk Yogyakarta. 

Pada waktu itu Yogyakarta dan Surakarta menjadi daerah terlarang untuk karya Misi Katolik. Tetapi di hadapan pemerintah Belanda dan Kasultanan serta Kasunanan, yang disebut karya Misi Katolik adalah karya rama, suster, bruder Eropa. Padahal yang banyak mewartakan iman di Yogyakarta dan Klaten serta Wedi adalah kaum awam : di Pegunungan Menoreh Kalibawang dengan model kerakyatan; guru-guru lulusan pendidikan Rm. van Lith yang setiap sore dan malam berkeliling di lingkungan-lingkungan (di sekolah menjadi guru biasa); para penganut Kejawen dengan model budaya Hindu-Jawa. Kaum awam itu menjadi pewarta sukarela karena dorongan iman tanpa berpikir balas jasa. Gerakan-gerakan awam sungguh ada yang segi keagamaan, ada gerakan sosial, bahkan ada gerakan politik. Maraknya panggilan imam, suster, dan bruder adalah terutama buah dari kehidupan dinamis kaum awam. Pada tahun 1922 muncul Seminari Mertoyudan, dan tahun 1936 muncul Kongregas Abdi Dalem Sang Kristus (ADSK) untuk para suster Jawa. Bahkan mulai dengan tahun 1936 pula dibuka pendidikan Seminari Tinggi di gedung Pastoran Muntilan untuk menyiapkan para calon rama praja. Maka, ketika semua keuskupan se Hindia Belanda selalu memiliki uskup pertama orang Eropa, Keuskupan Agung Semarang sejak pertama di tahun 1940 uskupnya sudah pribumi, yaitu Mgr. Albertus Soegijopranata.

No comments:

Post a Comment

Rm. Harto di RS Panti Rapih

Rm. Fransiscus de Sales Suharto Widodo adalah salah satu penghuni Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan. Kalau Rm. Yadi tercatat sebagai pengh...