Bacaan Injil Misa Malam Paskah adalah Lukas 24:1-12. Kutipan Injil ini mengisahkan perempuan-perempuan yang pada pagi-pagi benar per ke kubur Tuhan Yesus. Mereka menemukan batu kubur sudah terguling dan kemudian ada warta bahwa Tuhan telah bangkit. Para perempuan itu kemudian memberi tahu para rasul dan Petruspun segera melihat. Dalam merenungkan Injil ini saya tersentuh oleh ayat 1-2 : “Tetapi pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu mereka pergi ke kubur membawa rempah-rempah yang telah disediakan mereka. Mereka mendapati batu sudah terguling dari kubur itu.” Saya menangkap bahwa peristiwa Paskah atau pengalaman akan kebangkitan Tuhan Yesus ditandai oleh batu yang terguling. Bagi saya peristiwa batu terguling menjadi saat permulaan mengalami keterbukaan pertama akan karya penyelamatan Tuhan Yesus. Kalau setiap tahun diperingati, hal ini berarti setiap tahun harus selalu diperbarui, karena bisa jadi dalam perjalanan hidup orang kembali tertutup terhadap karya Tuhan Yesus. Dengan demikian orang selalu ditantang untuk selalu siaga beriman secara baru dan diperbarui. Dalam salah satu Aklamasi Anamnese setelah Konsekrasi dalam Misa ada seruan “Wafat Kristus kita maklumkan. Kebangkitan-Nya kita muliakan. Kedatangan-Nya kita rindukan”. Kita harus selalu siaga membarui hidup dengan “wafat” atau meninggalkan dunia yang membelokkan iman. Kita harus bangkit memperjuangkan hidup baru dan diperbarui. Kita yakin akan Yesus yang selalu mendatangi kita yang akan sempurna di akhir zaman. Dari renungan ini saya menyimpulan dalam sebuah nyanyian amat pendek di bawah ini :
Dalam renungan saya batu yang menutup diri akan karya Tuhan bisa dari pengalaman tak nyaman dan dari pengalaman membuat nyaman. Dalam Paskah 2025 ini perkenankanlah saya menyampaikan sharing sebagai berikut :
1. Bangkit dari Yang Tak Nyaman
Dulu, pada waktu masih katekumen sebelum baptis pada Malam Paskah 25 Maret 1967, sebenarnya saya mengalami dua batu besar penghalang berada dalam perjumpaan dengan orang lain.
- Malu karena keluarga. Saya lahir ketika kedua orang tua saya sudah bercerai. Saya mengalami tiga kali ibu tiri. Dalam perkembangan usia saya sering mendapatkan pertanyaan “Siapa ibumu sendiri?” Hal ini menjadi trauma khusus yang membuat saya selalu kuatir kalau berada dalam perjumpaan dengan orang lain. Ketika saya SMP dan mulai ikut pelajaran agama Katolik, saya dihadapkan dengan adanya Sembahyang Kring (kini Lingkungan) secara rutin. Bapak Kaslan, salah satu warga Katolik Kring Ambarrukmo yang kemudian menjadi Bapak Baptis saya, bertanya mengapa saya enggan ikut. Akhirnya saya menceritakan trauma itu. Pada waktu itu Pak Kaslan berkata “Sing omong kaya ngoten niku mung turah lambé. Umumé pun dha ngerti” (Yang omong sreperti itu adalah orang yang kelebihan bibir. Pada umumnya orang sudah tahu). Demi Pak Kaslan saya memaksa diri ikut Sembahyangan Kring dan kemudian menjadi kebiasaan bahkan bersemangat. Ternyata saya memang tak pernah dihadapkan ke persoalan “Siapa ibu kandung saya”. Bahkan, hingga jadi imampun, saya bisa enak diketahui umat punya latar belakang keluarga yang tidak harmonis.
- Malu terhadap kaki pincang. Ketika masih kanak-kanak saya malu bahkan takut kalau harus berjalan di muka banyak orang. Ini dikarenakan adanya pengalaman kalau sedang jalan kerap ada anak-anak lain membunyikan suara gamelan dengan mulutnya mengiringi ketidakimbangan langkah kaki saya. Maklumlah kaki kiri saya tak tumbuh normal sejak umur setahun dan saya baru bisa jalan sejak usia 5 tahun. Kondisi ini mewarnai rasa jiwani saya hingga remaja. Pada waktu saya menginjak usia SMA kelas 1 dan belum baptis, Umat Kring Ambarrukmo mendapat tugas pelayanan Misa di gereja Sanata Dharma. Pelayanan Misa pada waktu itu mencakup misdinar, lektor, kolekte, dan persembahan. Pengurus Kring meminta saya untuk jadi pembaca Kitab Suci. Saya menolak dengan alasan belum baptis. Tetapi pada waktu itu menjadi yang lektor belum ada tuntutan sudah baptis. Ketua Kring dan banyak umat mendesak saya namun saya tetap menolak. Ternyata Ketua Kring mendatangi rumah saya dan tetap minta saya jadi pembaca Kitab Suci. Ketika saya tetap menolak, Bapak Ketua Kring malah mengira ada yang melarang saya. Akhirnya yang berkata jujur bahwa saya malu dengan kaki pincang saya. Kalau harus membaca Kitab Suci, saya harus berdiri dari duduk di bangku gereja lalu berjalan di hadapan semua umat menuju mimbar. “Kula lingsem, pak” (Saya malu, pak) kata saya yang membuat Bapak Ketua Kring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba beliau berkata “Iya …. Kowé pancèn pincang lan kabèh dha ngerti. Ning maca ki ora nganggo sikil jé. Sing dinggo cangkem. Mangka suaramu isa sero lan isa las-lasan” (Memang benar …. Kamu memang pincang dan semua umat tahu. Tetapi membaca itu tidak dengan kaki. Yang dipakai adalah mulut. Bukankah suaramu bisa keras dan kamu bisa mengatur tempo dalam berbicara). Malumlah, pada waktu itu sound system belum biasa ada di gedung gereja. Sejak itulah saya mulai kehilangan rasa malu tampil dan berjalan di muka umum.
2. Bangkit dari Yang Nyaman.
Ternyata belenggu diri juga bisa bersumber dari rasa nyaman, enak, dan membanggakan. Dua pengalaman bisa menjadi paparan.
- Semangat menjaga mutu. Saya pernah merasa menjadi tokoh dalam hal memimpin kor. Di Kring Ambarrukmo saya menjadi andalan pembinaan kor. Di Baciro saya dipandang menjadi dirigen terbaik kedua. Soal nyanyian Gereja saya memang tak pernah mendapatkan pendidikan khusus. Saya banyak belajar sendiri. Sekalipun hanya Kring, saya ingin membuat kor Kring maju dan berkembang serta bisa menjadi kor terpandang. Saya berusaha mengenali suara masing-masing dan membina kemampuan vokal para anggota. Terkisah ada salah satu pemuda yang tampaknya agak kurang normal ingin ikut kor. Ternyata dalam hal bersuara juga amat tidak normal. Maka kalau dia datang saya selalu memberi buku yang berbeda dengan yang berisi teks yang kami nyanyikan. Dia akan sibuk mencari sesuai yang dibaca dalam buku teman-temannya. Barangkali dia mulai sadar bahwa selalu tertipu. Kemudian dia sering merebut buku yang dipegang anggota kor lain. Tetapi jelas dia selalu bersuara amat sumbang. Saya berjuang agar dia tidak ikut latihan kor. Hal ini saya lakukan dengan mengganti hari latihan dan meminta semua anggota kor tak memberi tahu dia. Eeeee …. Tiba-tiba, ketika main di Pastoran Baciro, saya dipanggil oleh Rm. Tan Soe Ie, Pastor Paroki saya. Ternyata beliau mendengar kasus kor Kring Ambarrukmo. Beliau memarahi saya. “Kamu boleh ikut kor tetapi tak boleh melatih dan memimpin. Kalau ikut kamu hanya jadi anggota. Kor untuk ibadat adalah kor dari umat, oleh umat, untuk umat. Siapapun boleh ikut apapun kapasitasnya” kata Rm. Tan. Jujur saja, saya memang syok. Tetapi pengalaman inilah yang membuat banyak petugas Gereja, bidang apapun, merasa aman kalau berhadapan dengan saya sebagai imam. “Rama Bambang selalu memaklumi kalau ada kesalahan” kata-kata yang katanya sering muncul.
- Karena fasilitas tercukupi. Ketika mulai tinggal di Domus Pacis sejak 1 Juni 2010 saya berjanji dalam hati ketika berada di kamar “Kecuali karena Misa, sebelum merasa nyaman berada di kamar ini saya tak akan bepergian keluar”. Jujur saja, berminggu-minggu saya belum bisa menikmati keberadaan di dalam kamar yang menjadi jatah saya. Saya mencoba meneliti diri “Apakah penghalangnya? Bukankah tinggal di Domus untuk menjadi bebas adalah pilihanku sendiri yang disetujui oleh pemimpin Keuskupan?” Hingga pada suatu hari saya diminta memimpin Misa di Wirobrajan. Waktu itu jam 18.00 sehingga senja sedang bergeser jadi gelap. Ternyata saat itu hujan amat deras. Saya mengalami kesulitan yang amat menggelisahkan. Kalau kaca helm saya buka ke atas, derasnya air hujan seperti lecutan bertubi-tubi di kedua pipi. Sementara itu kalau helm saya turunkan, penglihatan saya sungguh amat terhalang cuaca gelap yang makin dipergelap oleh kaca gelap helm. Entah bagaimana saya sungguh merasa amat menderita. Sambil menjalankan motor dengan kecepatan rendah hati saya berkali-kali menjerit “Gusti ….. Gusti …..” (Tuhan ….. Tuhan …..). Tiba-tiba sepertinya muncul bayangan dalam benak saya. Dulu saya biasa bermobil. Dulu kalau bertugas saya selalu bersama tim kerja. Tampak dalam benak saya teman-teman kerja zaman sebelum tinggal di Domus. Saya memiliki karyawan-karyawan. Saya punya banyak fasilitas untuk kerja dan untuk pribadi dalam kamar. Kemudian saya melihat diri saya berada di Domus Pacis. Kemudian terdengar bisikan dalam hati “Sekarang itu semua sudah tak ada. Sekarang aku sediri menjadi bagian rama tua di rumah tua”. Entah bagaimana, perasaan derita berbau kefrustrasian memudar. Itu adalah hari ke 59 saya berada di rumah tua meninggalkan tugas bidang misioner selama 27 tahun. Yang jelas mulai hari ke 60 di Domus ada rasa nikmat tinggal di rumah tua. Bahkan citra saya sebagai pecinta anak dan remaja menghilang tergantikan oleh aroma kelansiaan.
Domus Pacis, 19 April 2025
No comments:
Post a Comment