Thursday, December 4, 2025

Kalau Manusia Meninggal Dunia


Entah mengapa, saya memperhatikan soal kematian. Orang bisa jadi amat sibuk kalau ada orang mati. Karena tak ada agenda kapan dan di mana akan menghadapi peristiwa kematian, sekalipun sudah tahu ada yang sudah amat sangat sakitnya dan tak akan sembuh, orang harus menghadapi peristiwa yang harus sungguh-sungguh mendapatkan urusan khusus. Ada penghormatan jenazah baik dari dimandikan, didandani, diselanggarakan seperti hajatan mendadak, dan tentu termasuk diselenggarakan doa dan atau ibadatnya. Setelah itu ada peringatan-peringatan pengenangan arwah. Bahkan di tanah kuburnya ada pemasangan nisan. 

Peristiwa Badaniah?

Ada orang dekat yang jengkel bahkan marah kalau saya omong “Suk yèn aku mati ....” (Besok kalau aku mati ....). Tampaknya kematian adalah hal yang pada umumnya tidak diterima. Sekalipun semua tahu bahwa pada suatu ketika akan mati, tetapi kalau ada yang tanya “Bagaimana kalau nanti beberapa jam lagi terjadi pada Anda?”, pada umumnya muncul tawa yang nuansanya menolak dan bahkan ada mengucap “Belum siap”.

Sebenarnya kesejatian badan adalah materi atau barang benda. Manusia menjadi salah satu ciptaan Allah dari “debu tanah” (Kej 2:7). Kalau dikatakan manusia punya kehidupan, tumbuh-tumbuhan dan hewan juga punya. Dengan hidupnya pohon punya daya tumbuh dan hewan punya daya insting. Tetapi manusia tidak hanya punya daya tumbuh yang bisa diamati dari sebagai janin, bayi, kanak-kanak, remaja, muda, tua, hingga lansia. Manusia juga tak hanya punya insting tetapi secara umum dapat dikatakan juga memilik daya pikir, daya rasa, dan daya berkehendak. Dengan demikian matinya manusia berbeda dengan matinya tumbuh-tumbuhan dan hewan.

Berkaitan dengan omongan tentang kematian, matinya manusia amat berbeda dibandingkann dengan matinya tumbuhan dan hewan. Dengan kehilangan daya tumbuh, sebatang pohon akan layu dan bisa keropos. Matinya hewan ditandai dengan berhentinya daya tenaga badan. Ada hewan-hewan yang sadar atau tidak sadar disamakan dengan manusia berkaitan dengan kematian, yaitu habisnya aliran darah. Ada yang mempercayai bahwa dalam darah ada nyawa. Hilangnya nyawa membuat hilang pula kehidupan. Maka dalam agama atau kepercayaan tertentu ada larangan menyantap menu berbahan darah sebagai sikap menjunjung tinggi kehidupan. Tetapi kematian manusia yang membuat badan meninggalkan dunia fana sungguh berbeda dengan matinya tumbuhan bahkan hancurnya barang benda. Sesayang apapun terhadap barang benda tertentu atau pohon tertentu atau binatang tertentu, pada umumnya orang tidak akan mendalam susahnya dibandingkan dengan hilangnya dari dunia fana orang dekat atau keluarga karena kematian.

Ketika meninggal dunia orang akan mendapatkan perhatian dan penghormatan khusus bahkan menjadi sebuah hajatan mendadak. Sesudah tak tampak di dunia fana karena sudah dikubur, penghormatan masih datang dan bisa datang berkali-kali karena ada peringatan arwah. Di dalam agama Katolik peringatan arwah bisa mendapatkan hari bahkan bulan khusus pada bulan November. Orang Jawa mengkhususkan bulan Ruwah sebagai bulan menghormat arwah. Bahkan doa untuk arwah selalu masuk dalam Doa Syukur Agung ketika ada Misa berlangsung. Penghormatan-penghormatan ini mengalir dari keyakinan bahwa debu tanah yang jadi badan bagi bahan penciptaa manusia bukanlah hanya bahan materi belakang. Badan manusia adalah salah satu dari keseluruhan kemanusiaan. Santo Paulus berkata kepada umat Tesalonika tentang keseluruhan manusia sebagai “roh, jiwa dan tubuh” (1Tes 5:23). Ketiga unsur manusia itu menyatu sebagai gambar Allah (Kej 1:27) karena kehidupan sejatinya datang dari nafas atau Roh Allah (Kej 2:7).

Ada Kehidupan Kekal

Di dalam Misa Arwah ada kata-kata dalam Prefasi Arwah “Sebab, meskipun kami seharusnya binasa dan direnggut maut karena dosa, berkat rahmat dan kasih sayang-Mu, kami ditebus melalui kemenangan Kristus. Bersama Dia, kami dipanggil kembali menuju kehidupan”. Sebenarnya kematian bagi para murid Kristus bukan terutama berhentinya fungsi jantung dan meninggalkannya tubuh dari dunia fana. Kematian sejati adalah karena dosa. Santo Paulus bilang bahwa “upah dosa ialah maut” (Rom 6:23). Hal ini telah dikatakan oleh Tuhan Allah pada manusia pertama dalam Kej 2:7 kalau hidup bertentangan dengan perintah-Nya dia akan mati. Tetapi karena anugerah kasih-Nya, Allah menyelamatkan dan memanggil menuju kehidupan. Memang, dalam realita orang tetap mengalami maut. Tetapi dalam salah satu Doa Prefasi lain orang mendapatkan keyakinan akan adanya kediaman abadi karena iman akan kebangkitan. Kata-katanya adalah sebagai berikut :

“Sebab Dialah yang telah menumbuhkan harapan kokoh dan kebangkitan mulia; sehingga kami yang sering takut akan maut yang tak terelakkan itu sungguh-sungguh dihibur oleh hidup abadi yang telah dijanjikan kepada kami. Oleh karena itu, sebagai umat beriman kami yakin bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan; bahwa suatu kediaman abadi tersedia bagi kami di surga bila pengembaraan kami di dunia ini berakhir.”

Ada kebangkitan

Kalau merujuk pada kehidupan liturgi Gereja, Perayaan Paskah adalah pusat yang mewarnai segala liturgi dan peribadatan umat. Perayaan Paskah adalah ungkapan hidup para murid Kristus yang melandaskan iman akan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Bagi orang Kristiani, segala penghayatan hidup bersumber dan bermuara pada keyakinan akan adanya kebangkitan Kristus. Segala ajaran iman, pegangan moral, dan tatanan hukum Gereja dilandasi oleh dan mengungkapkan iman akan kebangkitan. Maka Santo Paulus berkata “ Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:13-14). Di dalam Kristus setiap orang juga akan mengalami kebangkitan. Tuhan Yesus bersabda “Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman” (Yoh 6:44). Hidup dalam Kristus adalah anugrah ilahi. Dari sini para murid Kristus mendapatkan janji kebangkitan badan.

Kehidupan kekal

Kalau kita memperhatian Syahadat Iman, ada butir iman dalam Gereja “Kebangkitan badan dan hidup kekal”. Kebangkitan menjadi pegangan keyakinan bahwa dalam Kristus ada kebangkitan badan. Ketika berbicara tentang roti hidup Tuhan Yesus bersabda “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:54). Sementara itu yang disebut hidup kekal sejatinya tidak pertama-tama berkaitan dengan dunia orang yang sudah meninggal dunia. Tuhan Yesus bersabda “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh 17:3). Dalam hal ini mengenal berarti memiliki sambung atau hubungan personal. Hidup kekal berarti memiliki hubungan personal dengan Allah Sang Keabadian. Sebagai orang Kristiani saya yakin bahwa dalam Kristus Allah “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Dengan demikian bagi manusia hidup kekal sudah terhayati sejak masih di dunia fana, yaitu dihayati dalam iman. Bukankah “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1)?

Pengubahan badan

Dalam salah satu Prefasi Arwah tentang kematian dikatakan “sebagai umat beriman kami yakin bahwa hidup hanyalah diubah”. Sebagai ciptaan yang dijadikan gambar Allah oleh Allah dengan daya Roh Allah, kehidupan manusia tidak seperti pohon-pohonan dan hewan. Pohon-pohon hidup karena masih punya daya tumbuh. Hewan hidup karena masih punya daya rangsang atau insting. Tetapi roh manusia sebagai bagian Roh Allah menjadi daya hidup yang tak terpadamkan oleh apapun. Manusia punya hidup kekal. Lalu bagaimana kalau dalam realita ada peristiwa yang disebut kematian? Lalu bagaimana kalau kematian manusia menuntut adanya tata penghormatan? Lalu bagaimana kalau yang hidup dituntut untuk tetap mengadakan peringatan atau doa arwah yang dalam Misapun selalu ada dalam Doa Syukur Agung? Bagi saya itu semua adalah pertanda bahwa manusia sepenuhnya (roh, jiwa, badan) tetap ada sekalipun orang mengatakan bahwa nyatanya ada kematian dalam pengalaman manusia. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan “Warga Kristen yang menyatukan kematiannya dengan kematian Yesus, menganggap kematian sebagai pertemuan dengan Yesus” (1020). Yang disebut kematian bagi manusia menjadi pintu masuk berjumpa dengan Allah muka dengan muda. Bukankah Tuhan Yesus adalah pintu masuk dalam kehidupan sejati (lihat Yoh 10:1-10)? Dengan demikian hilang atau rusaknya tubuh karena peristiwa yang disebut kematian sebenarnya adalah pengubahan dan pembaharuan fisik manusia yang tidak terikat lagi oleh ruang dan waktu seperti Tuhan Yesus yang bangkit dari kubur bisa menemui para murid kapanpun dan dimanapun sekalipun di tempat yang tertutup pintu dan bisa masuk mendadak.

Selesai pengembaraan

Ada pepatah Jawa yang mengatakan bahwa urip ki mung mampir ngombé (hidup adalah mampir untuk minum). Ini muncul dari gambaran bahwa hidup adalah perjalanan dari asal mula menuju kembali ke awal. Berapapun usia seseorang, kehidupan di dunia fana ini tetaplah hanya sebentar. Dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sebelum_Masehi saya mendapatkan keterangan tentang zaman bahwa sebelum tahun Masehi ada 3 zaman kehidupan selama 3000 tahun dari prasejarah (hingga sekitar 3000 SM), zaman kuno awal (3000-1000 SM), hingga zaman kuno akhir (1000-1 SM). Maka kehidupan sudah ada lebih dari 3000 tahun sebelum masa Masehi. Kalau kini kita berada di tahun 2025 M, maka kehidupan paling tidak sudah ada selama 52025 tahun. Di dalam Kitab Suci tertulis manusia berusia terlama adalah Metusalah, yaitu 969 tahun (Kej 5:27). Itu berarti Metusalah ada di dunia fana paling panjang selama 1,86% dari panjang usia perkiraan hidup dengan tonggak hitungan Masehi. Bagaimana dengan manusia kita dewasa ini? Dari google saya menemukan tulisan “Rata-rata usia harapan hidup global adalah sekitar 71–76 tahun, sedangkan di Indonesia pada tahun 2025 mencapai 71,4 tahun menurut data World Population Prospects, dengan data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan angka 74 tahun pada Agustus 2025”. Kalau kita naikkan rata-rata menjadi 80 tahun, rata-rata orang di dunia fana adalah 0,15% dari panjang kehidupan dunia sebelum dan sesudah Masehi.

Puji Tuhan, kehidupan sejati manusia tidak berhenti di alam kehidupan fana. Saya ingat lagi Prefasi “sebagai umat beriman kami yakin bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan; bahwa suatu kediaman abadi tersedia bagi kami di surga bila pengembaraan kami di dunia ini berakhir”. Itu menjadi keyakinan bahwa kematian adalah selesainya sebuah pengembaraan manusia sebagai umat Allah. Seindah apapun warna-warni dunia, itu adalah seperti dunia pariwisata. Itu hanya sebuah piknik. Seenak apapun piknik atau pengembaraan, seseorang sewajarnya mendapatkan kenyamanan hidup di rumah sendiri, yaitu hidup bersama Allah. Di dalam pengembaraan di dunia fana untuk mendapatkan kesejatian orang Jawa membutuhkan kebijakan yang disebut ngèlmu. “Ngèlmu iku kelakoné kanthi laku” (Kebijakan itu diperoleh dengan berprihatin) demikian kata orang Jawa. Berprihatin berarti olah hidup ikut Tuhan dalam perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Pengembaraan yang menuntut keprihatinan terjadi pada saat kematian sebagai garis akkhir sebagaimana tersirat dalam kata-kata Santo Paulus “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim 4:7). Tuhan Yesus juga mengatakan selesai ketika wafat di salib. Kitab Suci mencatat : Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: "Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. (Yoh 19:30)

No comments:

Post a Comment

Wanita Katolik RI Pugeran

Itu adalah hari Minggu 30 November 2025. Rm. Bambang bersama rama-rama sepuh Domus sedang berhadapan dengan rombongan tamu dari umat Lingkun...