Rama Direktur Domus Pacis Santo Petrus selalu membuat jadual petugas liturgi untuk Misa Komunitas. Dari jadual terakhir yang diberIkan untuk giliran dari Senin 24 November hingga 7 Desember 2025, saya mendapatkan giliran memimpin Misa pada Kamis 27 November dan Rabu 3 Desember. Pada Jumat 28 November 2025 saya membaca bacaan Injil :
15 Lalu Ia berkata kepada mereka: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. 16 Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. 17 Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, 18 mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh." 19 Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah. 20 Merekapun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.” (Mrk 16:15-20)
Karya Misioner
Kutipan Injil di atas diambil untuk merayakan Santo Fransiskus Xaverius, seorang imam dan pelindung misi. Santo Fransiskus Xaverius meninggalkan tanah kelahirannya di Spanyol dan pergi menjadi misionaris hebat di Goa, India, Indonesia, Jepang serta pulau-pulau lain di timur. Beliau wafat dalam perjalanannya menuju daratan Cina. Ketika merenungkan kisah Santo Fransiskus Xaverius, saya terbayang apa yang saya alami di bidang karya misioner.
27 tahun tugas
Dengan munculnya kata misi jadi teringat akan 27 tahun sebagai imam sebelum hari masuk rumah para rama sepuh Domus Pacis. Benak saya terbayang ketika berada di tengah kehidupan karya misioner baik dalam Komisi Karya Misioner Keuskupan Agung Semarang, Karya Kepausan Indonesia Keuskupan Agung Semarang, dan Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner. Di Keuskupan Agung Semarang saya menjelajah paroki-paroki se Keuskupan. Amat banyak tokoh umat tahu siapa saya. Bidang karya misioner juga membuat saya ikut berperan ke gerakan-gerakan terutama anak dan remaja misioner se Jawa dan Bali. Banyak lagu untuk pengembangan anak misioner saya buat. Ketika saya memimpin Misa di pelosok Bontang, Kalimantan Timur, saya diajari lagu tanda salib model anak dan mereka amat senang karena saya cepat menguasai. Sebenarnya itu lagu buatan saya. Saya amat bangga. Saya menemukan lagu itu muncul dalam youtube dinyanyikan oleh kelompok anak Papua dengan musik teraransemen indah dengan gerakan-gerakan. Pada suatu ketika dalam medsos viral lagu Teman Mari Kita Terbuka yang disosialisasikan oleh kelompok polisi di Maluku. Rm. Nur Widi yang pada waktu itu menjadi Direktur Nasional Karya Kepausan Indonesia menginfo saya dan menulis “Lagu njenengan ta?” (Ini lagu Anda, kan?). Bahkan tamu-tamu di Domus Pacis baik anak, remaja, dan bahkan orangtua kalau menyanyikan Aku Diberkati, ada rama Domus bilang “Kuwi wèké Rama Bambang, lho” (Itu milik Rm. Bambang). Saya selalu tertawa bangga.
Di Domus Pacis
Saya masuk rumah sepuh Domus Pacis Puren, Pringwulung, pada 1 Juli 2010. Saya memang merasakan bahwa suasana cukup lengang. Para rama serumah terkondisi ada di dalam kamar masing-masing karena segalanya dilayani di kamar termasuk sajian makan tiga kali sehari dan snak dua kali sehari. Kumpul serumah antar rama penghuni dapat dikatakan tidak ada. Memang, ketika saya mulai tinggal di Domus, Rm. Agoeng sering bertemu omong-omong dengan saya. Tetapi Rm. Agoeng banyak pergi karena tugas beliau menjadi Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Semarang. Rama yang bertanggungjawab kehidupan harian mempunyai tugas sebagai Pastor Paroki. Kehidupan Domus secara praktis dipercayakan kepada salah satu dari 4 karyawan. Jujur saja, dalam hal ini saya tidak menyangkal kalau ada rama sepuh yang mengatakan bahwa dengan tinggal di Domus seorang rama menjadi terkucil jauh dari umat. Bahkan salah satu rama sepuh yang juga jadi penghuni Domus amat banyak berada di Paroki tertentu untuk ikut melayani Misa. Rama ini mengatakan bahwa di Domus seorang rama seperti ada dalam tahanan.
Tetapi kebiasaan omong-omong antara Rm. Agoeng dengan saya, sering juga Rm. Joko Sistiyanto ikut bergabung, dalam kadar kecil menimbulkan irama agak beda. Ketika salah satu karyawan sakit dan opname dan salah satu rama sepuh berada dalam kondisi cukup memprihatinkan, atas inisiatif sendiri kami menghadirkan seorang pramurukti untuk sebulan. Entah bagaimana, mungkin karena masih sering melayani permintaan Misa keluarga dan juga Misa di beberapa Paroki, saya sering mendapatkan tamu-tamu. Bahkan umat Katolik juga sering ada yang datang omong-omong. Kejutan besar terjadi pada tanggal 21 Desember 2011. Kami mengadakan Misa Syukur Imamat ke 40 tahun Rm. Harjaya dan 33 tahun Rm. Yadi serta 36 tahun Pak Tukiran berkarya untuk rama sepuh sejak di Jetis. Dengan patungan uang para rama sepuh bisa menghadirkan banyak umat dengan sajian konsumsi yang mendapatkan kemurahan dari salah satu perusahaan catering. Kor Lingkungan Puren mengiringi Ibadat Sabda dengan iringan terbangan dari teman-teman Muntilan dan beberapa dari Ketep. Ada hiburan pertunjukan tarian. Selain Minister, yang keheranan atas pesta yang terjadi, Pimpinan Keuskupan Agung Semarang juga mendengar dan kemudian hadir. Tampaknya itu menjadi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan Domus sehingga makin banyak kelompok-kelompok kunjungan umat. Domus juga bisa menumbuhkembangkan karya pastoral ketuaan sehingga muncul kegiatan Novena Seminar setiap Minggu Pertama dari Maret hingga November setahun sekali. Banyak relawan bermunculan membantu kegiatan-kegiatan Domus. Bahkan makan tiga kali sehari diselenggarakan para relawan yang dikoordinasi oleh 8 orang ibu. Para rama sejak Idul Fitri 2011 sudah bisa makan bersama. Komunitas rama sungguh hidup dan dari omong-omong terutama di kamar makan bisa muncul berbagai inisiatif kegiatan. Sistem kerja karyawan juga terbenahi. Semua ini sedikit banyak ikut menjadi bekal pengembangan hidup Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan. Maklumlah, penghuni pertama dan sebagian besar fasilitas pertama adalah pindahan dari Domus Pacis Puren. Di Kentungan saya juga biasa menjadi pemandu pertemuan para rama sepuh dalam penyambutan kehadiran rombongan-rombongan pengunjung. Bahkan pesta atau hajatan lebih banyak terjadi dibandingkan dengan ketika masih ada di Puren. Saya juga sedikit ikut mencari dana untuk tambahan honorarium karyawan. Saya juga menghimpun dana untuk pengadaan konsumsi pesta-pesta seperti ulang tahun imamat, Malam Paskah/Natal, peringatan arwah rama mantan penghuni Domus, ulang tahun kelahiran. Penjualan kain batik dari Domus makin banyak terdengar oleh umat. Ternyata semua ini membuat nama saya cukup banyak dikenal umat. Kalau di Pringwulung sering ada kata-kata sekitar “Mbareng Rm. Bambang nèng Purèn, Domus dadi gayeng” (Setelah ada Rm. Bambang Domus Pacis jadi semarak kalau), di Ketungan tak sedikit umat yang omong Domus lalu menyebut nama saya. Tentu saja saya merasa senang dan bangga.
Cubitan Markus
Dengan membaca Injil Markus 16:15-20 sebenarnya saya sungguh bangga karena saya merasa sudah ikut mengalami kata-kata yang disampaikan oleh Tuhan Yesus.
Merasa sudah menjalani
Saya merasa sudah mengalami penghayatan ayat-ayat yang ada.
- Lalu Ia berkata kepada mereka: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. (ay 15). Tentu saja saya tidak pergi ke seluruh dunia sebagaimana di gambarkan dalam atlas atau bola globe dunia. Saya ingat Rm. Nur Widi, salah satu ahli misiologi, mengatakan bahwa kata dunia dalam ayat itu berarti tanah tempat kita berpijak. Saya bersyukur karena paling tidak saya menjalani tugas karya bidang misioner dari uskup. Tugas ini membuat saya bisa melanglang ke paroki-paroki dan komunitas-komunitas umat Keuskupan Agung Semarang. Bahkan dalam jaringan antar Keuskupan saya pernah menjadi Ketua Karya Kepausan Indonesia Regio Jawa. Banyak kegiatan terjadi antar Keuskupan. Bahkan saya menjadi salah satu animator misioner hingga menerobos luar Jawa.
- Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. (ay 16) Pelayanan Sakramen Permandian memang tidak menjadi fokus pelaksanaan tugas yang saya emban. Saya memang pernah menjadi pastor di Paroki Klaten dan Paroki Salam. Tetapi mulai tahun 1983 saya banyak terlibat di Komisi Karya Misioner Keuskupan. Tetapi saya memahami bahwa kesejatian pembaptisan adalah menjadikan orang hidup masuk dalam keluarga ilahi terbuka bersaudara dengan siapapun. Bukankah yang menerima Sakramen Permandian menjadi anggota Gereja yang “dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (Lumen Gentium 1). Dalam pendampingan-pendampingan saya selalu menekankan keterbukaan dengan siapapun yang berbeda agama dan berbeda pendapat.
- Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh. (ay 17-18) Tentu saja dalam dalam menjalani tugas misioner saya mengalami berbagai kendala bahkan tantangan dan ancaman. Saya hanya terkesan dengan kata-kata seorang penghalang bahkan sering berusaha menjatuhkan saya. Dia bilang “Rama Bambang itu ditempatkan di manapun dalam kondisi apapun tetap bisa hidup”. Saya memang bisa keluar dari berbagai kesulitan. Keterbatasan dana finansial tidak pernah menghentikan program kegiatan bahkan membuat saya terbiasa tidak malu jualan barang seperti buku atau apapun untuk mendapatkan dana kegiatan dan kebutuhan kantor.
Yang saya sharingkan untuk ayat 16-18 memang ketika masih dinas sebelum masuk rumah rama sepuh Domus Pacis. Tetapi di Domus saya juga tetap mendapatkan kesempatan untuk ikut ambil bagian membuat suasana ceria. Saya merasa itu adalah pewartaan Injil baik internal untuk para penghuni Domus maupun ekstern untuk para pengunjung dan tamu-tamu undangan hajatan Domus. Karena keterbatasan anggaran yang ada, saya ikut mencari tambahan dana finansial termasuk jualan kain batik.
Teguran ayat 20
Apa yang saya tulis di atas sungguh mengungkapkan rasa bahagia karena berbagai karya misioner yang saya anggap membanggakan. Saya membayangkan, dengan membacanya ada orang-orang yang membuat kagum terhadap saya dan kiprah saya. Barangkali ada yang berkata “Rama Bambang memang hebat, selalu bersemangat, dan selalu segar ....” Tetapi ketika saya membaca dan merenungkan Mark 16:15-20, sebagai bacaan peringatan Santo Fransiskus Xaverius, saya sungguh tertegun dengan ayat 20 yang berbunyi “Merekapun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya”.
Para murid memang pergi berkarya mewartakan kabar gembira. Saya juga melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa masuk dalam bidang misioner. Tetapi ternyata ada “Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya”. Ketika ayat ini saya renungkan, saya jadi teringat bahwa ada penyertaan ilahi lewat terlibatnya banyak warga umat. Saya memang tidak mengingat kesemuanya lebih-lebih yang saya alami berada di antara jaringan-jaringan tim kerja Keuskupan Agung Semarang dan tim kerja Kevikepan-kevikepan. Tentu saja ada juga kerjasama dengan tim-tim Keuskupan-keuskupan se Jawa. Jaringan kerjasama personal saya alami terutama sesudah saya berada di Domus Pacis. Semua ini terasa menjadi cubitan untuk menyadarkan saya. Saya bukanlah satu-satunya orang hebat. Semua bisa terjadi karena banyak yang bekerja. Saya tahu bahwa 90% lebih dari yang ikut berjuang bukanlah orang bayaran. Mereka relawan bahkan sering ikut nombok. Sekilas terbayang di benak saya beberapa pengalaman yang menyertai saya dalam menjalani hidup.
Tahun 1983-1988
Selama sekitar 5 tahun saya adalah anggota tim kerja Karya Misioner Keuskupan. Saya memang menjadi anggota yang selalu siaga untuk pendampingan para anggota Dewan Paroki yang terutama terjadi di Wisma Salam. Tetapi saya juga yang biasa diminta untuk merumuskan menulis berbagai hal yang terjadi dalam Komisi Karya Misioner. Pada masa ini nama-nama yang bisa saya sebut terutama adalah Pak Mujiana, Pak Amin Santosa, Pak Paryanta, dan Pak Dibya. Di dalam perkembangan saya juga bisa mengajak Pak Budi Windarta. Tetapi dalam pertembangan saya juga mulai melatih beberapa teman muda seperti Mas Budiarto, Mbak Yuni, Mbak Susana, dan Mbak Agustin.
Pusat kantor di Magelang
Saya berkantor di Magelang, kompleks Pastoran Paroki Santo Ignatius, mulai 1 September 1990. Mas Budiarto menjadi tenaga harian pertama yang dalam perkembangan juga datang Mas Gito menambah tenaga harian di kantor. Pak Muji dan Mbak Yuni membantu pada hari-hari tertentu datang di kantor. Pelatihan pendampingan Misioner bisa memperbanyak tenaga-tenaga seperti Pak Edi, Bu Siwi, Pak Tikno, Pak Yadi. Tenaga-tenaga muda juga banyak yang ikut peduli karya. Pelayanan terjadi untuk pendampingan-pendampingan dewan paroki dan kader-kader keparokian dari kaum muda, remaja hingga kanak-kanak. Untuk program pendampingan anak-anak ternyata menghadirkan banyak warga untuk ikut terlibat. Mereka mendapatkan pelatihan-pelatihan. Saya memang tidak membuat semua yang tertutup hanya terlibat dalam karya yang saya dampingi sehingga banyak kader yang kemudian menjadi tenaga dari gerakan atau kelompok lain.
Pusat kantor di Muntilan
Di Muntilan saya mengalami berkantor di Pastoran Sanjaya Muntilan (PSM) dan kemudian pindah di Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM). Sebenarnya ada 3 macam karya yang harus ditangani, yaitu Komisi Karya Misioner Keuskupan Agung Semarang (Karmis KAS), Karya Kepausan Indonesia Keuskupan Agung Semarang (KKI KAS), dan MMM PAM. Di dalam perkembangan terjadilah kepaduan tiga karya yang oleh Mgr. Ignatius Suharya, Uskup Agung Semarang pada waktu itu, dirumuskan bahwa Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner sebagai Sarana Perutusan KKM dan KKI Keuskupan Agung Semarang. Dengan kegiatan seperti ini saya mengkoordinasi 3 macam budang : Preparasi dan Konservasi, Edukasi, dan Preparasi. Program kegiatan yang ditangani adalah Pengembangan Iman Umat Umum, Pengembangan Anak-Remaja Misioner, dan Panggilan Hidup Bhakti. Semua ini bisa saya jalani dengan cukup lancar tanpa menutup mata sering adanya beberapa hambatan. Tetapi kelancaran itu terjadi karena komitmen kerja dari tenaga harian. Tenaga harian ini mengurus kantor tetapi juga ikut terlibat dalam bidang-bidang kerja. Mereka sungguh mau belajar dan saya menilai mereka bekerja dengan dedikasi mendalam. Tim Kerja Harian ini tertopang oleh adanya Tim Keuskupan yang terdiri dari warga umat yang rela untuk secara rutin periodikal datang ke MMM PAM. Anggota Tim Keuskupan adalah mereka yang sudah jadi pendamping tingkat Paroki dan ikut pelatihan tingkat Kevikepan. Kemudian selama paling tidak 2 tahun mereka sering diajak oleh Tim Harian dalam pelayanan tingkat Keuskupan. Bahkan orang-orang ini, yang sudah menjadi Tim Kevikepan sering diikutsertakan dalam pertemuan dan atau pelatihan tingkat Regio Jawa.
Pembentukan Tim-tim Pelayanan itu banyak ditangani oleh para anggota Tim Harian. Saya biasa menyertai dan sering diminta memberikan input dan tentu saja kalau ada adalah memimpin Misa. Semua ini membuat munculnya amat banyak nama yang kalau saya tulis membutuhkan paling tidak 1 halaman lebih. Yang jelas pada umumnya mereka terlibat dengan penuh antusiasme. Sebagai catatan, dari semua nama hanya mereka yang menjadi Tim Harian yang mendapatkan gaji atau honor karena juga menjadi tenaga full timer. Sedang semua yang lain adalah para relawan-relawati tanpa honorarium. Paling-paling ikut mendapatkan fasilitas makan dan tempat istirahat ketika bersama-sama menjalani pelayanan.
Di Domus Pacis
Saya memang ikut mengembangkan suasana Domus jadi semarak. Banyak umat datang dalam rombongan-rombongan tamu. Ada kegiatan fenomenal yang dinamakan Novena Seminar Ekaristi. Jumlah peserta 300-400an orang dari berbagai paroki. Kerja karyawan Domus makin tertata. Komunitas para rama makin hangat. Makan tiga kali sehari dibantu banyak keluarga lintas paroki untuk menyajikannya. Tetapi semua itu terjadi karena hadirnya banyak relawan untuk menangani. Delapan orang ibu mengkoordinasi 89 keluarga dalam sajian makan 3 kali sehari. Ada kelompok selalu menyiapkan akomodasi untuk pelaksanaan seminar. Ada tim penyedia welcome snak. Ada tim pemasak dan penyaji makan siang sehabis seminar. Ada ahli-ahli baik awam maupun rama yang datang tanpa honorarium mengisi seminar. Bahkan untuk intern para rama kalau pergi-pergi ada warga yang rela mengantar menyopiri. Untuk intern Domus ada yang siaga menjadi relawan harian kalau ada kebutuhan-kebutuhan para rama dan rumah.
Belajar rendah hati
Dengan mengingat kembali pengalaman tempo dulu ketika belum masuk Domus Pacis hingga kini 15 tahun di Domus Pacis, saya diingatkan peran amat banyak orang yang menyertai. Dalam hal ini mereka adalah orang-orang yang menyertai saya dalam ikut ambil bagian berkarya sebagai imam Keuskupan Agung Semarang dan kini sebagai imam anggota Komunitas Rama Domus Pacis Santo Petrus.
Saya tahu banyak orang terlibat bekerja. Saya teringat yang sungguh ikut bersusah payah menyertai saya di kantor dan kancah kegiatan misioner adalah Pak Muji, Mas Budi, Mas Seno, Mas Gito, Mas Yuli, dan Mas Turmudi. Tetapi saya juga ingat almarhum Mbak Ucik yang masak setiap hari dan sibuk menyediakan konsumsi kalau ada rombongan pembinaan datang. Di Domus saya ingat Bu Mumun, Mas Handoko dan istri, Bu Ninik dan suami, Bu Ratmi, Bu Mardanu, almarhum Mbak Tatik, Bu Titik, Bu Rini, dan masih banyak yang lain yang ikut menopang ambil bagian kerja saya di Domus Pacis Puren. Di Puren pula Bu Ratmi, almarhum Mbak Tatik, Bu Rini, Bu Ninik, Bu Riwi, Bu Wulan, Bu Mumun, dan Bu Vera mengkoordinasi 89 orang relawan penyaji lauk pauk 3 kali sehari. Kini di Domus Pacis Santo Petrus Bu Rini dan Bu Titik selalu siaga membantu sebagai relawan. Tentu saja Bu Endang, Bu Daniek, dan Bu Septi juga harus saya sebut karena ikut mengajak banyak warga yang menyediakan snak untuk penghuni Domus Pacis Santo Petrus.
Ternyata baru tahu
Ketika saya merenungkan semua yang terjadi di atas, berkat pengetahuan teologis saya tahu bahwa semua itu adalah penyertaan Tuhan. Bahwa Tuhan selalu menyertai biasa saya dengar dalam Misa dalam kalimat pendek yang kerap muncul, yaitu “Tuhan bersamamu” dan kalau dulu “Tuhan besertamu” atau “Tuhan sertamu” atau “Tuhan beserta kita”. Dari Kitab Suci saya tahu bahwa Tuhan “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Saya juga tahu kata-kata Tuhan Yesus “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Maka kalau dalam Injil Matius ketika mengisahkan kegiatan para murid memberitakan Kabar Sukacita dikatakan “Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya”, dalam pengalaman saya penyertaan Tuhan itu adalah hadirnya amat banyak orang di atas. Itu semua saya ketahui. Tetapi saya harus jujur bahwa dengan mengingat kembali pengalaman-pengalaman di atas, saya masih merasa di atas “prestasi iman” semua orang yang menyertai saya. Apakah ini bukan kesombongan batin yang diam-diam mewarnai saya? Dalam hati saya masih ingat akan beberapa kelemahan dan keburukan mereka yang sering menggelisahkan saya. Tetapi sejauh mana saya ingat akan keburukan saya sendiri?
Masih ajar rendah hati
Mengatakan “Terima kasih Tuhan yang selalu menyertaiku” bisa saya ucapkan. Saya juga bisa mengatakan “Banyak orang hebat di sekitarku” atau “Mereka memang beriman lebih dalam dariku”. Tetapi, benarkan saya bisa merasakan banyak yang lebih dibandingkan dengan realita saya? Benarkah saya sudah merendahkan hati bahkan merendahkan diri? Tampaknya, saya baru tahu bahwa di hadapan mereka semua saya berperan menjadi semacam emblem atau lencana atau logo atau bahkan merek untuk sepak terjang derap kegiatan mereka. Mereka menjadi orang-orang terpercaya di tengah umat karena memakai “logo Rm. Bambang”. Saya memang masih belajar bagaimana harus sungguh-sungguh berendah hati yang meresap dalam sanubari saya.
Domus Pacis, 3
Desember 2025
Hari peringatan Santo Franskus Xaverius
No comments:
Post a Comment