Entah mengapa, saya memperhatikan soal kematian. Orang
bisa jadi amat sibuk kalau ada orang mati. Karena tak ada agenda kapan dan di
mana akan menghadapi peristiwa kematian, sekalipun sudah tahu ada yang sudah
amat sangat sakitnya dan tak akan sembuh, orang harus menghadapi peristiwa yang
harus sungguh-sungguh mendapatkan urusan khusus. Ada penghormatan jenazah baik
dari dimandikan, didandani, diselanggarakan seperti hajatan mendadak, dan tentu
termasuk diselenggarakan doa dan atau ibadatnya. Setelah itu ada
peringatan-peringatan pengenangan arwah. Bahkan di tanah kuburnya ada
pemasangan nisan.
Peristiwa Badaniah?
Ada orang dekat yang jengkel bahkan marah kalau saya
omong “Suk yèn aku mati ....” (Besok kalau aku mati ....). Tampaknya kematian
adalah hal yang pada umumnya tidak diterima. Sekalipun semua tahu bahwa pada
suatu ketika akan mati, tetapi kalau ada yang tanya “Bagaimana kalau nanti
beberapa jam lagi terjadi pada Anda?”, pada umumnya muncul tawa yang nuansanya
menolak dan bahkan ada mengucap “Belum siap”.
Sebenarnya kesejatian badan adalah materi atau barang
benda. Manusia menjadi salah satu ciptaan Allah dari “debu tanah”
(Kej 2:7). Kalau dikatakan manusia punya kehidupan, tumbuh-tumbuhan dan hewan
juga punya. Dengan hidupnya pohon punya daya tumbuh dan hewan punya daya
insting. Tetapi manusia tidak hanya punya daya tumbuh yang bisa diamati dari
sebagai janin, bayi, kanak-kanak, remaja, muda, tua, hingga lansia. Manusia
juga tak hanya punya insting tetapi secara umum dapat dikatakan juga memilik
daya pikir, daya rasa, dan daya berkehendak. Dengan demikian matinya manusia
berbeda dengan matinya tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Berkaitan dengan omongan tentang kematian, matinya
manusia amat berbeda dibandingkann dengan matinya tumbuhan dan hewan. Dengan
kehilangan daya tumbuh, sebatang pohon akan layu dan bisa keropos. Matinya
hewan ditandai dengan berhentinya daya tenaga badan. Ada hewan-hewan yang sadar
atau tidak sadar disamakan dengan manusia berkaitan dengan kematian, yaitu
habisnya aliran darah. Ada yang mempercayai bahwa dalam darah ada nyawa.
Hilangnya nyawa membuat hilang pula kehidupan. Maka dalam agama atau
kepercayaan tertentu ada larangan menyantap menu berbahan darah sebagai sikap
menjunjung tinggi kehidupan. Tetapi kematian manusia yang membuat badan
meninggalkan dunia fana sungguh berbeda dengan matinya tumbuhan bahkan
hancurnya barang benda. Sesayang apapun terhadap barang benda tertentu atau pohon
tertentu atau binatang tertentu, pada umumnya orang tidak akan mendalam
susahnya dibandingkan dengan hilangnya dari dunia fana orang dekat atau
keluarga karena kematian.
Ketika meninggal dunia orang akan mendapatkan
perhatian dan penghormatan khusus bahkan menjadi sebuah hajatan mendadak.
Sesudah tak tampak di dunia fana karena sudah dikubur, penghormatan masih
datang dan bisa datang berkali-kali karena ada peringatan arwah. Di dalam agama
Katolik peringatan arwah bisa mendapatkan hari bahkan bulan khusus pada bulan
November. Orang Jawa mengkhususkan bulan Ruwah sebagai bulan menghormat arwah.
Bahkan doa untuk arwah selalu masuk dalam Doa Syukur Agung ketika ada Misa
berlangsung. Penghormatan-penghormatan ini mengalir dari keyakinan bahwa debu
tanah yang jadi badan bagi bahan penciptaa manusia bukanlah hanya bahan materi
belakang. Badan manusia adalah salah satu dari keseluruhan kemanusiaan. Santo
Paulus berkata kepada umat Tesalonika tentang keseluruhan manusia sebagai “roh,
jiwa dan tubuh” (1Tes 5:23). Ketiga unsur manusia itu menyatu
sebagai gambar Allah (Kej 1:27) karena kehidupan sejatinya datang dari nafas
atau Roh Allah (Kej 2:7).
Ada Kehidupan Kekal
Di dalam Misa Arwah ada kata-kata dalam Prefasi Arwah “Sebab,
meskipun kami seharusnya binasa dan direnggut maut karena dosa, berkat rahmat
dan kasih sayang-Mu, kami ditebus melalui kemenangan Kristus. Bersama Dia, kami
dipanggil kembali menuju kehidupan”. Sebenarnya kematian bagi para murid
Kristus bukan terutama berhentinya fungsi jantung dan meninggalkannya tubuh
dari dunia fana. Kematian sejati adalah karena dosa. Santo Paulus bilang bahwa
“upah dosa ialah maut” (Rom 6:23). Hal ini telah dikatakan oleh Tuhan Allah
pada manusia pertama dalam Kej 2:7 kalau hidup bertentangan dengan perintah-Nya
dia akan mati. Tetapi karena anugerah kasih-Nya, Allah menyelamatkan dan
memanggil menuju kehidupan. Memang, dalam realita orang tetap mengalami maut.
Tetapi dalam salah satu Doa Prefasi lain orang mendapatkan keyakinan akan
adanya kediaman abadi karena iman akan kebangkitan. Kata-katanya adalah sebagai
berikut :
“Sebab
Dialah yang telah menumbuhkan harapan kokoh dan kebangkitan mulia; sehingga
kami yang sering takut akan maut yang tak terelakkan itu sungguh-sungguh
dihibur oleh hidup abadi yang telah dijanjikan kepada kami. Oleh karena itu,
sebagai umat beriman kami yakin bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya
dilenyapkan; bahwa suatu kediaman abadi tersedia bagi kami di surga bila
pengembaraan kami di dunia ini berakhir.”
Ada kebangkitan
Kalau merujuk pada kehidupan liturgi Gereja, Perayaan
Paskah adalah pusat yang mewarnai segala liturgi dan peribadatan umat. Perayaan
Paskah adalah ungkapan hidup para murid Kristus yang melandaskan iman akan
kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Bagi orang Kristiani, segala penghayatan hidup
bersumber dan bermuara pada keyakinan akan adanya kebangkitan Kristus. Segala
ajaran iman, pegangan moral, dan tatanan hukum Gereja dilandasi oleh dan
mengungkapkan iman akan kebangkitan. Maka Santo Paulus berkata “ Kalau tidak
ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi
andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan
sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:13-14). Di dalam Kristus setiap
orang juga akan mengalami kebangkitan. Tuhan Yesus bersabda “Tidak ada
seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh
Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir
zaman” (Yoh 6:44). Hidup dalam Kristus adalah anugrah ilahi. Dari sini para
murid Kristus mendapatkan janji kebangkitan badan.
Kehidupan kekal
Kalau kita memperhatian Syahadat Iman, ada butir iman
dalam Gereja “Kebangkitan badan dan hidup kekal”. Kebangkitan menjadi pegangan
keyakinan bahwa dalam Kristus ada kebangkitan badan. Ketika berbicara tentang
roti hidup Tuhan Yesus bersabda “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum
darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada
akhir zaman” (Yoh 6:54). Sementara itu yang disebut hidup kekal sejatinya tidak
pertama-tama berkaitan dengan dunia orang yang sudah meninggal dunia. Tuhan
Yesus bersabda “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka
mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang
telah Engkau utus” (Yoh 17:3). Dalam hal ini mengenal berarti memiliki sambung
atau hubungan personal. Hidup kekal berarti memiliki hubungan personal dengan
Allah Sang Keabadian. Sebagai orang Kristiani saya yakin bahwa dalam Kristus
Allah “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Dengan
demikian bagi manusia hidup kekal sudah terhayati sejak masih di dunia fana,
yaitu dihayati dalam iman. Bukankah “Iman adalah dasar dari
segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu
yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1)?
Pengubahan badan
Dalam salah satu Prefasi Arwah tentang kematian
dikatakan “sebagai umat beriman kami yakin bahwa hidup hanyalah diubah”.
Sebagai ciptaan yang dijadikan gambar Allah oleh Allah dengan daya Roh Allah,
kehidupan manusia tidak seperti pohon-pohonan dan hewan. Pohon-pohon hidup
karena masih punya daya tumbuh. Hewan hidup karena masih punya daya rangsang
atau insting. Tetapi roh manusia sebagai bagian Roh Allah menjadi daya hidup
yang tak terpadamkan oleh apapun. Manusia punya hidup kekal. Lalu bagaimana
kalau dalam realita ada peristiwa yang disebut kematian? Lalu bagaimana kalau
kematian manusia menuntut adanya tata penghormatan? Lalu bagaimana kalau yang
hidup dituntut untuk tetap mengadakan peringatan atau doa arwah yang dalam
Misapun selalu ada dalam Doa Syukur Agung? Bagi saya itu semua adalah pertanda
bahwa manusia sepenuhnya (roh, jiwa, badan) tetap ada sekalipun orang
mengatakan bahwa nyatanya ada kematian dalam pengalaman manusia. Katekismus
Gereja Katolik mengajarkan “Warga Kristen yang
menyatukan kematiannya dengan kematian Yesus, menganggap kematian sebagai
pertemuan dengan Yesus” (1020). Yang disebut kematian bagi manusia menjadi
pintu masuk berjumpa dengan Allah muka dengan muda. Bukankah Tuhan Yesus adalah
pintu masuk dalam kehidupan sejati (lihat Yoh 10:1-10)? Dengan demikian
hilang atau rusaknya tubuh karena peristiwa yang disebut kematian sebenarnya
adalah pengubahan dan pembaharuan fisik manusia yang tidak terikat lagi oleh
ruang dan waktu seperti Tuhan Yesus yang bangkit dari kubur bisa menemui para
murid kapanpun dan dimanapun sekalipun di tempat yang tertutup pintu dan bisa
masuk mendadak.
Selesai
pengembaraan
Ada pepatah Jawa yang mengatakan bahwa urip ki mung
mampir ngombé (hidup adalah mampir untuk minum). Ini muncul dari gambaran
bahwa hidup adalah perjalanan dari asal mula menuju kembali ke awal. Berapapun
usia seseorang, kehidupan di dunia fana ini tetaplah hanya sebentar. Dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sebelum_Masehi saya mendapatkan keterangan tentang zaman
bahwa sebelum tahun Masehi ada 3 zaman kehidupan selama 3000 tahun dari
prasejarah (hingga sekitar 3000 SM), zaman kuno awal (3000-1000 SM), hingga
zaman kuno akhir (1000-1 SM). Maka kehidupan sudah ada lebih dari 3000 tahun
sebelum masa Masehi. Kalau kini kita berada di tahun 2025 M, maka kehidupan
paling tidak sudah ada selama 52025 tahun. Di dalam Kitab Suci tertulis manusia
berusia terlama adalah Metusalah, yaitu 969 tahun (Kej 5:27). Itu berarti
Metusalah ada di dunia fana paling panjang selama 1,86% dari panjang usia
perkiraan hidup dengan tonggak hitungan Masehi. Bagaimana dengan manusia kita
dewasa ini? Dari google saya menemukan tulisan “Rata-rata usia harapan hidup
global adalah sekitar 71–76 tahun, sedangkan di Indonesia pada tahun 2025
mencapai 71,4 tahun menurut data World Population Prospects, dengan data dari
Kementerian Kesehatan menyebutkan angka 74 tahun pada Agustus 2025”. Kalau kita
naikkan rata-rata menjadi 80 tahun, rata-rata orang di dunia fana adalah 0,15%
dari panjang kehidupan dunia sebelum dan sesudah Masehi.
Puji Tuhan, kehidupan sejati manusia tidak berhenti di
alam kehidupan fana. Saya ingat lagi Prefasi “sebagai umat beriman kami yakin
bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan; bahwa suatu kediaman abadi
tersedia bagi kami di surga bila pengembaraan kami di dunia ini berakhir”. Itu
menjadi keyakinan bahwa kematian adalah selesainya sebuah pengembaraan manusia
sebagai umat Allah. Seindah apapun warna-warni dunia, itu adalah seperti dunia
pariwisata. Itu hanya sebuah piknik. Seenak apapun piknik atau pengembaraan,
seseorang sewajarnya mendapatkan kenyamanan hidup di rumah sendiri, yaitu hidup
bersama Allah. Di dalam pengembaraan di dunia fana untuk mendapatkan kesejatian
orang Jawa membutuhkan kebijakan yang disebut ngèlmu. “Ngèlmu iku
kelakoné kanthi laku” (Kebijakan itu diperoleh dengan berprihatin) demikian
kata orang Jawa. Berprihatin berarti olah hidup ikut Tuhan dalam perkembangan
situasi hidup dan budaya setempat. Pengembaraan yang menuntut keprihatinan
terjadi pada saat kematian sebagai garis akkhir sebagaimana tersirat dalam
kata-kata Santo Paulus “Aku telah mengakhiri pertandingan yang
baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara
iman” (2Tim 4:7). Tuhan Yesus juga mengatakan selesai ketika wafat di salib.
Kitab Suci mencatat : Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah
Ia: "Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan
nyawa-Nya. (Yoh 19:30)