Monday, November 24, 2025

Santa Katarina dari Alexandria

diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 10 Agustus 2013 Diperbaharui: 18 November 2019 Hits: 25029

  • Perayaan
    25 November
  •  
  • Lahir
    Hidup pada Abad ke-4
  •  
  • Kota asal
    Alexandria - Mesir
  •  
  • Wafat
  •  
  • Martir, Dipenggal kepalanya di tahun 305 di Alexandria, Mesir
  •  
  • Kanonisasi
  •  
  • Pre-Congregation

Santa Katarina dari Alexandria, menurut tradisi adalah seorang perawan yang menjadi martir pada awal abad ke-4 pada masa penganiayaan kaisar Maxentius. Dia adalah seorang putri bangsawan yang sangat terpelajar dan menjadi Kristen pada usia sekitar empat belas tahun.  Lebih dari 1.100 tahun setelah kemartirannya, Santa Joan of Arc mengidentifikasi Santa Katarina sebagai salah satu dari para suci yang menampakkan diri dan menasihati dia. Gereja Katolik Ortodoks menghormati  Santa Katarina sebagai Martir besar, dan merayakan hari pestanya pada tanggal 24 atau 25 November (tergantung pada tradisi lokal masing-masing Metropolis Orthodox).  

St. Katarina baru berusia delapan belas tahun ketika Kaisar Maxentius mulai melakukan penganiayaan terhadap umat Kristen. Tanpa gentar sedikit pun, gadis Kristen yang cantik ini menghadap raja untuk mengatakan pendapatnya tentang perbuatan raja yang kejam. Ketika raja berbicara tentang berhala-berhala, Katarina dengan gamblang menunjukkan kepadanya bahwa berhala-berhala itu adalah bohong. Kaisar Maxentius tidak dapat membantah penjelasan Katarina. Oleh karenanya, ia memerintahkan agar dipanggil lima puluh orang ahli fisafat kafir yang terbaik. Sekali lagi, Katarinalah yang berhasil membuktikan kebenaran imannya. Kelimapuluh ahli filsafat itu menjadi yakin bahwa Katarina benar.  Karena amat murka, Maxentius membunuh semua ahli filsafat itu.

Kemudian, raja yang sebenarnya juga terpesona dengan kecantikan putri Kristen itu membujuknya dengan menjanjikan mahkota ratu baginya.  Katarina dengan tegas menolak dengan menyatakan bahwa suaminya adalah Yesus Kristus, kepada siapa ia mempersembahkan kesuciannya. Penolakan Katarina ini membuat Kaisar murka. Ia  memerintahkan agar Katarina dicambuk dan dipenjara.

Selama dalam penjara banyak orang datang untuk melihatnya, termasuk istri Maxentius, seorang pejabat istana dan  dua ratus pasukan pengawal. Pada awalnya mereka hanya penasaran dan ingin mendengar gadis Kristen yang menakjubkan ini berbicara. Namun setelah bertemu dengan Katarina  mereka semua bertobat. Semua menjadi Kristen dan kemudian martir.

Katarina sendiri dihukum mati dengan cara digilas pada roda berduri besar hingga tewas. Ketika roda mulai berputar, secara misterius roda berduri itu terbelah menjadi dua dan hancur berantakan.  Pada akhirnya, St. Katarina menemui ajalnya dengan dipenggal kepalanya.  

Pada masyarakat Kristen perdana di Timur Tengah terdapat "mitos" yang mengatakan bahwa setelah kematiannya para malaikat kemudian membawa jenazah St. Katarina ke puncak Gunung Sinai, di mana, di abad ke-6, Kaisar Yustinus kemudian mendirikan sebuah biara yang indah yang sampai saat ini disebut Biara Santa Katarina, Gunung Sinai. 

Gereja utama Biara ini dibangun antara tahun 548 dan tahun 565, dan biara ini menjadi situs ziarah terutama bagi pemeluk Kristen Timur dan Barat. 

Biara Santa Katarina dapat bertahan sampai hari ini, dan merupakan warisan seni dan arsitektur dari kebudayaan Kristen perdana.

Setiap Martir Adalah Persembahan Bagi Gereja

Lamunan Pekan Biasa XXXIV

Selasa, 25 November 2025

Lukas 21:5-11

5 Ketika beberapa orang berbicara tentang Bait Allah dan mengagumi bangunan itu yang dihiasi dengan batu yang indah-indah dan dengan berbagai-bagai barang persembahan, berkatalah Yesus: 6 "Apa yang kamu lihat di situ--akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan."

7 Dan murid-murid bertanya kepada Yesus, katanya: "Guru, bilamanakah itu akan terjadi? Dan apakah tandanya, kalau itu akan terjadi?" 8 Jawab-Nya: "Waspadalah, supaya kamu jangan disesatkan. Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Dia, dan: Saatnya sudah dekat. Janganlah kamu mengikuti mereka. 9 Dan apabila kamu mendengar tentang peperangan dan pemberontakan, janganlah kamu terkejut. Sebab semuanya itu harus terjadi dahulu, tetapi itu tidak berarti kesudahannya akan datang segera." 10 Ia berkata kepada mereka: "Bangsa akan bangkit melawan bangsa dan kerajaan melawan kerajaan, 11 dan akan terjadi gempa bumi yang dahsyat dan di berbagai tempat akan ada penyakit sampar dan kelaparan, dan akan terjadi juga hal-hal yang mengejutkan dan tanda-tanda yang dahsyat dari langit.

Butir-butir Permenungan

  • Tampaknya, ada yang sungguh tak mau berbicara tentang kematian. Meskipun demikian kematian adalah realitas yang harus dihadapi oleh setiap orang.
  • Tampaknya, karena keyakinan akan hidup abadi, ada yang sungguh serius mempersiapkan diri berhadapan dengan kematian. Tetapi ada juga yang kebingungan bagaimana harus siap kalau tiba-tiba kematian datang.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul intim dengan kedalaman batin, sekalipun orang tak bisa mengerti kapan dan di mana kematian akan datang, orang sadar atau tidak sadar sudah berjalan benar kalau menjaga kemesraan hubungan dengan relung hati. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan relung hati, sekeliru apapun pemahamannya tentang kematian, orang tak akan tersesat.

Ah, bagaimanapun juga kematian itu mengerikan.

Sunday, November 23, 2025

Dari Sanjungan Sadar Karunia

Bagaimanapun juga sanjungan memang bisa menghadirkan kegembiraan bagi yang disanjung. Sayapun, sekalipun sudah lansia dan bahkan sebagai seorang rama, juga merasa sening karena mendapatkan sanjungan. Barangkali pengalaman tersanjung bukan muncul dari banyak orang. Tetapi kalau sanjungan itu disikapi seperti Bunda Maria menghadapi sebuah peristiwa, itu sungguh bisa disadari sebagai karunia. Ketika mendapatkan kehadiran para gembala untuk melihat bayi Yesus, menghadapi ocehan kata para gembala Bunda Maria “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19). Di sini saya akan mensharingkan pengalaman saya ketika mendapatkan yang saya sebut saja sebagai sanjungan. 

Kata Tiga Teman

Sebetulnya yang masuk dalam hati saya adalah sanjungan yang hanya berasal dari 3 orang rama. Dua orang rama tinggal serumah bersama saya di rumah rama sepuh yang bernama Domus Pacis Santo Petrus. Sedang seorang lain adalah seorang rama yang masih segar dan bugar serta menjadi salah seorang pastor paroki di Keuskupan Agung Semarang.

Dua rama serumah tampak mengagumi saya. Kekaguman salah satu saya dengar beberapa kali dari kata-katanya kepada rombongan tamu pengunjung Domus Pacis. Sebagai salah satu rama yang masuk di Domus karena kondisi sakit yang membutuhkan pelayanan dan penjagaan khusus, beliau kerap membandingkan ketika masih di paroki dan ketika sudah di Domus. “Saya melihat Rama Bambang bisa segar penuh keceriaan padahal juga menanggung penyakit seperti saya. Rama Bambang bisa disiplin dalam menyantap menu makan. Beliau dengan tenang tak mengambil menu yang berbahaya untuk penyakitnya” demikian sekitar kata-kata yang saya dengar tak hanya sekali. Bahkan salah satu perawat home care, yang datang setiap Rabu di Domus Pacis, tak hanya sekali berkata “Wah, kalau omong tentang Rama Bambang, beliau selalu mengatakan teladan segalanya”.

Sedang sanjungan dari rama serumah lain saya dengar dari Bu Rini. Bu Rini pernah terlibat omong-omong dengan rama ini. Rama ini berkata kepada Bu Rini bahwa ketika ditetapkan tinggal di Domus Pacis, beliau sebenarnya merasa amat tidak nyaman. “Di Domus saya akan hidup bersama dengan Rama Bambang. Jujur saja, saya takut karena Rama Bambang itu galak. Ternyata sesudah berada di Domus, Rama Bambang itu menyenangkan. Beliau selalu tampak segar dan paling sehat” kata beliau yang sebenarnya juga tahu bahwa saya setiap hari menyantap obat-obat dar dokter. Ada yang bilang bahwa rama itu dulu biasa menolak obat rumah sakit. Yang jelas, yang saya ketahui di Domus beliau selalu minum obat dan sering juga terdengar kata-katanya “Endi obatku?” (Mana obatku) kalau karyawan belum menyediakan obat di bagian menjanya ketika makan bersama.

Sedang rama yang masih aktif melayani paroki berbicara tentang saya, hal ini juga saya dengar dari Bu Rini. Beliau memang masih terhitung muda karena belum mencapai 20 tahun menjadi imam. “Saya besok akan seperti Rama Bambang. Sekalipun masih bisa aktif tetapi sudah masuk lansia, beliau masuk rumah tua. Di Domus beliau masih tetap bisa terbuka melayani umat. Bahkan hingga kini, ketika sudah tak bisa banyak keluar karena tak lagi bermotor dan bermobil, Rama Bambang masih bisa ikut berbuat untuk komunitas. Bahkan kadang-kadang masih bisa diminta datang ke umat” kata rama itu menurut Bu Rini. “Katanya omongan itu juga muncul ketika beliau memimpin Misa di depan umat” kata Bu Rini berdasarkan kisah kenalannya yang ikut Misa rama tersebut.

Karunia Derita

Mendengar kata-kata bernuansa sanjungan memang menghadirkan rasa bangga dalam diri saya. Tetapi kalau saya menelusuri kembali peristiwa awal dari hal yang membuat tersanjung, saya menyadari hal yang bagi saya baru.

Ketika sadar gagap perkembangan pastoral

Sebenarnya ketika masuk Domus Pacis pada 1 Juni 2010 saya masih bisa ke sana-sini sendiri. Memang saya sudah memakai kruk untuk alat bantu berjalan. Tetapi saya masih bisa mengendarai mobil sendiri. Padahal pada waktu itu saya belum mengenal mobil matic. Saya mengenalnya baru pada tahun 2013. Bermotor roda 2 memang sudah kesulitan. Tetapi dengan menjadikan modifikasi roda 3, saya masih bisa tegar kuat bermotor hingga Magelang dan Sala. Maka, saya masih bisa banyak melayani permintaan umat untuk Misa Keluarga. Untuk membantu Misa-misa Paroki dan atau kapel-kapel Stasi/Wilayah juga masih bisa saya jalani. Saya juga masih diminta untuk bersedia masuk jadual pelayanan hari besar seperti Natal dan Paskah di Paroki peminta. Bahkan memimpin rekoleksi dan retret juga terjadi. Yang pokok, saya tidak mau mendapatkan jadual rutin untuk Paroki atau tempat pelayanan tertentu. Rasa-rasanya bisa menjadi seperti pastor pembantu terbatas yang bebas mengatur jadual sendiri.

Saya mendengar beberapa rama bertanya mengapa saya tinggal di Domus Pacis. Banyak yang tahu bahwa sedikit banyak itu adalah keinginan dan pilihan saya yang disetujui oleh Pimpinan Keuskupan, yang pada waktu itu adalah Rm. Pius Riana Prapdi sebagai Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang. “Njenengan niku tesih isa aktif lho. Kénging napa kok pun mlebet Domus?” (Anda bisa bisa aktif. Mengapa sudah masuk Domus?) tanya seorang rama ketika saya membantu di Parokinya. Saya hanya tertawa dan tidak menjawab. Apapun jawaban saya, komentar beberapa sekitar “Bambang ki cèn nakal kok. Mung golèk senengé dhéwé” (Bambang memang nakal, Hanya cari senang sendiri) dari beberapa teman rama. Mereka tidak tahu betapa saya sungguh merasa sudah merasa berat untuk meneruskan kerja di Komisi Karya Misioner (KKM) dan Karya Kepausan Indonesia (KKI) serta Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM) di Keuskupan Agung Semarang. Itulah bidang karya misi yang saya jalani selama 27 tahun. Perkembangan hidup menggereja dan zaman sudah mulai membuat saya gagap. Apalagi tuntutan-tuntutan institusional lebih-lebih yang berkaitan dengan tata administratif dan akuntansi, saya sungguh ketinggalan. Sebagai tenaga full timer karya Keuskupan, menyaksikan perkembangan karya Paroki termasuk tuntutan-tuntutannya, saya sudah merasa akan amat gagap kalau harus ikut menangani sekalipun hanya bertugas sebagai pembantu.

Tinggal di Domus Pacis bagi saya memang masuk dalam dunia kehidupan yang amat berbeda dengan dunia karya misioner yang saya jalani 27 tahun sebelumnya. Saya hidup bersama dengan para rama sepuh yang masuk karena memang kondisi tubuh karena putusan dari Keuskupan dan memang sungguh sudah bebas tugas pelayanan dengan datang ke umat. Memang saya mengalami 10 tahun bersama Rm. Agoeng yang memilih tinggal di Domus. Beliau memang termasuk anggota pengurus Domus. Tetapi sebagai Ketua Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan, beliau amat sibuk dan kerap memiliki kegiatan luar Domus. Yang jelas, dengan menjadi penghuni Domus, saya jauh lebih banyak mengalami kesendirian di kamar. Bahkan saya mengawali tinggal di Domus dengan memegang kata hati “Kecuali karena diminta melayani Misa, aku tak akan pergi keluar Domus sebelum merasa nyaman tanpa kegelisahan dengan berada dalam kamar”. Tetapi selewat 59 hari, saya bisa menghayati kenyataan dunia Domus. Bahkan ketika masuk 5 bulan saya tiba-tiba terlibat membantu teman serumah. Dengan persetujuan Rm. Agoeng saya mencari seorang pramurukti untuk melayani salah satu rama yang dalam segalanya membutuhkan penjagaan dan bantuan. Maklumlah, jumlah tenaga Domus bagi saya tidak memadahi. Ketika bulan keenam saya ikut memulai terjadinya acara yang selama 10 tahun belum pernah terjadi. Pada tanggal 21 Desember 2010 Domus mengadakan Pesta Ulang Tahun Imamat 2 rama sepuh Domus dengan mengundang umat. Dari sini mulailah jaringan hubungan dengan umat.

Perhatian kepedulian umat untuk penghuni Domus makin berkembang bahkan ketika masih di Domus Pacis Puren terjadi sajian lauk pauk 3 kali sehari datang dari keluarga-keluarga lintas Paroki yang berhenti sesudah siaga dan pindah di Domus Pacis Santo Petrus pada tahun 2021. Domus Pacis tak hanya menerima kepedulian umat. Domus juga menyelenggarakan pelayanan pastoral. Dengan makin banyak umat datang, kunjungan-kunjungan rombongan umat bisa dijadikan kesempatan mensharingkan kehidupan menjadi lansia, bahkan dengan kondisi berkebutuhan khusus namun bisa ceria berbahagia. Tak sedikit rombongan datang minta pelayanan Misa dan atau rekoleksi. Pastoral Ketuaan berkembang dan kemudian terjadilah Novena Domus Pacis setiap Minggu I dari Maret sampai November sejak tahun 2013. Novena ini selalu berisi seminar 2 jam ditutup Misa. Banyak umat ikut terlibat jadi relawan. Pelayanan ke kelompok-kelompok lansia di beberapa paroki terjadi dalam program Jagongan Iman yang berisi pendalaman keagamaan.  

Mulai November 2020 saya sudah tak bermotor atau pergi mengendarai mobil sendiri. Ketajaman saya menurun. Semua derap pelayanan pastoral amat banyak menghilang sesudah berada di Domus Pacis Santo Petrus Kentungan. Dari hitung-hitungan jam di Domus Petrus 90% lebih saya berada di kamar. Menghilangnya banyak aktivitas pastoral memang bermula dari terjadinya pandemi Covid-19. Tetapi kondisi usia lebih dari 70 tahun memang membuat saya sudah tak sekuat dulu apalagi sejak 2014 sudah selalu berkursi roda. Meskipun demikian saya masih bisa memiliki sisa kemampuan public speaking sehingga bisa ikut menyemarakkan penyambutan rombongan-rombongan kunjungan dengan memandu interaksi pengunjung dengan para rama Domus. Puji Tuhan, atas pendampingan dulu oleh Rm. Agoeng dan beberapa bantuan karyawan, saya mendapatkan anugrah bermedia sosial. Hal ini membuat saya, yang mayoritas hidup di kamar, bisa ambil bagian punya hubungan dengan umat umum walaupun secara maya. Saya bisa menayangkan renungan harian, kisah santo-santa, dan peristiwa Domus atau juga pikiran-pikiran pastoral ketuaan. Bahkan lewat hubungan maya saya boleh ikut membantu Domus mengumpulkan dana untuk tambahan honor karyawan dan menerima kepedulian umat untuk dana hajatan. Saya ikut ambil bagian terjadinya hajatan untuk pesta ulang tahun imamat masing-masing rama, peringatan arwah rama yang pernah jadi penghuni Domus, dan even-even lain seperti menyemarakkan Malam Natal/Paskah. Bersama Bu Rini saya juga bisa ikut mencari dana lewat penjualan kain batik.

Ketika sadar kondisi kesehatan

Sejak minggu terakhir Desember 1972 saya sudah harus minum obat tensi setiap hari. Itu berarti sejak saya umur 21 tahun. Di usia 40an ada tambahan obat setiap hari untuk asam urat. Menu obat bertambah pada 50an tahun karena ada kelebihan kolesterol dan trigliserida. Terhadap kenyataan seperti itu saya tenang-tenang saja. Toh menu favorit masih bisa saya nikmati. Bagi saya menu favorit adalah gudeg, nasi goreng, bakmi baik goreng maupun godog.

Kejutan datang pada Januari 2012 ketika saya sudah berada di Domus Pacis. Ternyata penyakit yang ngendon di tubuh saya tambah, yaitu diabetes. Dari beberapa kali kontrol dokter disertai periksa laboratorium, termasuk juga pencobaan obat-obat tertentu, kadar gula selalu di atas 200. Saya tidak pernah digelisahkan oleh hipertensi, asam urat, kolesterol, dan trigliserida. Tetapi terhadap diabetes saya sungguh ketakutan. Dari informasi penyakit gula bisa diam-diam menyerang organ-organ tubuh lain. Yang paling saya takuti adalah kalau karena gula darah harus terjadi penderitaan cuci darah. Dokter mengatakan bahwa saya harus berhenti menikmati menu-menu favorit saya. Makan nasi pun harus pakai ukuran. Itulah yang membuat saya berkonsultasi ke ahli gizi untuk tanya menu yang baik untuk mengendalikan gula darah sekalipun harus tetap menerima tambah obat harian. Itulah yang membuat saya sehari 3 kali makan sayur sebagai pengganti nasi. Pikir saya makan itu yang paling pokok kenyang. Tidak nasi tidak apa asal kenyang. Sebetulnya saya tak suka sayuran dan buah-buahan. Tetapi dari petunjuk ahli gizi sayuran amat baik. Enam hari pertama saya memang merasakan tubuh lemas. Tetapi pada hari ketujuh jadi biasa. Jujur saja, sebetulnya hingga kini saya belum bisa mengatakan enak menyantap daun-daun sayuran. Tetapi hati saya diwarnai oleh pemahaman bahwa “Beriman itu berarti semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat” (Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 1996-2000). Yang jelas dengan santapan ini saya mengalami kesegaran badan dalam keseharian. Gula darah selalu biasa tidak menyentuh angka 200 bahkan biasa di bawah 150. Kalau ada rasa tak nyaman, saya biasa ingat kata-kata Tuhan Yesus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Bagi saya penyangkalan diri dalam makan adalah mengalahkan selera pucuk lidah. Kalau saya bisa menang terhadap sepucuk kecil bagian tubuh, seluruh tubuh mengalami kenyamanan tubuh. Di sini saya juga merasa diyakinkan oleh firman “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Mat 17:20).

Karunia tak selalu mengenakkan

Bagaimanapun juga pengalaman saya ketika masuk Domus Pacis bukanlah pengalaman enak. Ketidakenakan sesungguhnya mewarnai hidup saya. Memang, kata-kata Tuhan Yesus yang saya ungkapkan berkaitan dengan kesehatan tubuh, sebenarnya juga mewarnai perjalanan awal saya tinggal di Domus Pacis. Tetapi segala ketidaknyamanan itu justru menghadirkan hidup segar, ceria, dan tak ada rasa merana. Ternyata pilihan saya tinggal di rumah sepuh Domus Pacis menghadirkan inspirasi bagi salah satu rama Paroki. Di hadapan beberapa rama yang bertanya kepada saya mengapa saya tinggal di Domus walau masih segar, saya biasa menjawab “Itu hak saya sebagai rama sepuh”. Ternyata sikap dan tindakan saya menghadapi penyakit menghadirkan semangat ke 2 orang rama sepuh serumah di Domus. Ketika ditanya mengapa saya tahan makan menu sekalipun tak masuk selera, saya menjawab “Saya juga harus taat pada kehendak tubuh”.

Sebenarnya saya dalam pengalaman itu tidak berpikir dan berkeinginan untuk menghadirkan keteladanan bagi teman-teman lain. Saya menjalani segala ketidakenakan itu karena yakin akan mengalami keenakan mendalam. Bahwa kemudian ada 3 orang menyatakan mendapatkan inspirasi, entah bagaimana saya berpikir apakah yang tidak enak ini juga merupakan karunia atau anugrah ilahi. Dari sini saya merasa mendapatkan karunia “bisa masuk rumah tua meninggalkan hiruk pikuk menyenangkan berada di tengah kancah kegiatan umat”. Ada juga karunia yang saya terima “Saya bisa sakit. Saya bisa hidup bersahabat dengan penyakit”. Dalam permenungan saya yakin bahwa itu adalah karunia bisa enak dalam ketidakenakan. Saya jadi ingat kata-kata Santo Paulus “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. ..... Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama” (1Kor 12:4.7).

Santa Maria dari Cordoba

diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 11 Oktober 2015 Diperbaharui: 03 Februari 2019 Hits: 10973

  • Perayaan
    24 November
  •  
  • Lahir
    Hidup pada abad ke-9
  •  
  • Kota asal
    Cordoba - Spanyol
  •  
  • Wafat
  •  
  • Martir - Kepalanya dipenggal sekitar tahun 851 atau 856, pada masa penganiayaan Sultan Abderrahman II di Cordoba Spanyol
  •  
  • Beatifikasi
    -
  •  
  • Kanonisasi
  •  
  • Pre-Congregation

Santa Maria dari Cordoba hidup di Spanyol saat kerajaan di semenanjung Iberia itu berada dibawah penjajahan bangsa Moor. Ia dilahirkan dalam perkawinan campuran Kristen-Islam. Ayahnya adalah tuan tanah Kristen, dan ibunya, seorang wanita Muslim Moor yang telah dibabtis menjadi Kristen.

Saat Sultan Abderahman II mulai menganiaya orang Kristen, keluarga mereka terpaksa melarikan diri, meninggalkan rumah dan tinggal bersembunyi di sebuah desa dekat Cordoba. Ibunya yang tidak tahan menderita dalam pelarian memilih untuk murtad dan meninggalkan mereka.

Seorang saudara Maria, bernama Walabonsus, masuk seminari lokal Santo Felix, lalu melanjutkan pendidikannya di seminari Cuteclara. Setelah ditahbiskan menjadi imam, Walabonsus sempat kembali ke rumah dan bertemu keluarganya dalam sukacita Kristus. Namun, beberapa waktu kemudian, Walabonsus tewas sebagai martir Kristus karena menolak mempraktekkan Islam dan secara terbuka menyatakan dirinya sebagai seorang imam Kristen.

Maria sangat tersentuh oleh keberanian dan kemartiran kakaknya. Ia memutuskan untuk mengikuti jejak kakaknya dan menjalani hidup religius. Setiap hari Maria akan selalu ke Gereja untuk berdoa memohon kekuatan. Di gereja inilah ia bertemu dan bersahabat dengan Santa Flora.

Saat Flora harus melarikan diri karena menolak untuk menikah dengan seorang pria muslim, Maria dengan sepenuh hati menemaninya. Namun pelarian mereka tidak berlangsung lama. Seorang saudara laki-laki Flora mengkhianati dan menyerahkan mereka kepada penguasa muslim. Kedua wanita pemberani ini lalu dipenjara, dihukum cambuk setiap hari, sebelum akhirnya di penggal. Kemartiran mereka terjadi pada tahun 851 atau 856.

Setiap Martir Adalah Persembahan Bagi Gereja

Lamunan Peringatan Wajib

Santo Andreas Dung Lac, Imam dan Kawan-kawan

Senin, 24 November 2025

Lukas 21:1-4

1 Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. 2 Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. 3 Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu. 4 Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."

Butir-butir Permenungan

  • Tampaknya, di dalam agama umat akan senang kalau banyak orang kaya menjadi anggota. Kebutuhan-kebutuhan finasial bisa tercukupi dengan mudah.
  • Tampaknya, untuk mengelola agama bagaimanapun juga dibutuhkan uang. Orang-orang kaya tentu menjadi andalan.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul intim dengan kedalaman batin, semelimpah apapun persediaan uang dalam agama, sejatinya agama adalah ungkapan daya Roh Ilahi sehingga kaum miskinpun juga jadi andalan, karena dalam sumbangan seberapapun yang paling peting adalah motivasi batinnya. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan gema relung hati orang sadar bahwa dalam sumbang menyumbang dalam hidup beragama orang tak dapat membandingkan jumlahnya.

Ah, kalau punya banyak uang, agama akan kuat.

Saturday, November 22, 2025

Tamu dari Bangkok


Ternyata pada tanggal 18 November 2025 ada 8 orang tamu mulai menginap di Domus Pacis Santo Petrus. Mereka menginap di lantai 3. Penerima dan pemandu utama adalah Rm. Bismoko, dosen Fakultas Teologi di Kentungan yang tinggal di Paroki Mlati. Kata Rm. Bismoko para tamu hadir dalam rangka membangun kerjasama dengan Fakultas Teologi Wedhabakti dan Keuskupan Agung Semarang. Sebenarnya dalam beberapa bulan sebelumnya sudah ada 2 rombongan datang dan kesemuanya selalu menginap di Domus Pacis Santo Petrus. Setiap ada rombongan datang untuk proses tujuan itu, Rm. Pitaya SY dari Kolese de Britto juga selalu menyertai. Rm. Pitaya adalah Rektor SMA de Britto. Beliau selalu menyertai para tamu karena bisa berbahasa Thailand. Maklumlah, para tamu datang dari Thailand. Untuk rombongan yang terakhir menginap di Domus Pacis hingga Jumat 21 November 2025. Ternyata salah satu di antaranya bernama Mgr. Prancis Xavier Vira Arpondratana. Beliau adalah Uskup Agung Bangkok dan Ketua Konferensi Waligereja Thailand. Ketujuh lainnya adalah 6 rama dan seorang awam dosen sekolah tinggi teologi Saengtham College. Kedelapan tamu itu juga berjumpa dengan Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Semarang. Ketika akan meninggalkan Domus Pacis, mereka sempat menghampiri para rama Domus yang sedang makan pagi. Mgr. Vira menyampaikan kata-kata yang diterjemahkan oleh Rm. Pitaya. Beliau juga memberikan berkat untuk para rama Domus.

Santa Felisitas dari Roma

diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 04 September 2013 Diperbaharui: 23 Oktober 2019 Hits: 39294

  • Perayaan
    23 November
  •  
  • Lahir
    Hidup pada Abad ke-2
  •  
  • Kota asal
    Roma - Italia
  •  
  • Wafat
  •  
  • MARTIR - Dipancung pada tahun 165 di Roma, Italia. Dimakamkan di Pekuburan San Maximus disamping Via Salaria, Roma
  •  
  • Kanonisasi
  •  
  • Pre-Congregation

Felisitas adalah seorang wanita Kristen bangsawan dari Roma. Ia hidup pada abad kedua. Sesudah suaminya meninggal dunia, Felisitas mengabdi pada Tuhan dengan berdoa dan melakukan karya belas kasihan. Teladan baiknya menghantar banyak orang untuk menjadi Kristen pula.

Hal ini menyebabkan imam-imam kafir amat marah dan melaporkannya kepada Kaisar Antonius Pius. Mereka mengatakan bahwa Felisitas adalah musuh negara oleh sebab ia membuat dewa-dewa murka. Maka, kaisar memerintahkan agar Felisitas ditangkap. Tujuh orang pemuda ditangkap bersamanya. Mereka adalah ketujuh putera Felisitas.

Seperti ibu dalam Kitab Makabe dalam Perjanjian Lama, Felisitas tetap tenang. Gubernur sia-sia saja membujuknya untuk mempersembahkan korban kepada para dewa. Akhirnya Gubernur berseru, “Perempuan celaka! Jika engkau ingin mati, matilah! Tetapi, janganlah engkau membinasakan anak-anakmu pula.”

“Putera-puteraku akan hidup selama-lamanya jika mereka, seperti saya, mengutuk dewa-dewa berhala dan mati bagi Tuhan,” jawab Felisitas.  Wanita yang gagah berani ini dipaksa menyaksikan putera-puteranya dihukum mati. Seorang mati dicambuk, dua orang didera dengan tongkat, tiga orang dipenggal kepalanya dan seorang lagi tewas ditenggelamkan. Tujuh orang Martir putera-putera Santa Felisitas yang gagah berani itu adalah :

St.Alexander
St.Vitalis
St.Martialis
St.Januarius
St.Felix
St.Filipus
St. Silvanus

Empat bulan kemudian, Felisitas juga dihukum pancung. Kekuatannya yang luar biasa itu bersumber pada pengharapannya yang besar akan kehidupan kekal kelak bersama Tuhan dan putera-puteranya di surga.

Dapat dikatakan, St. Felisitas wafat dimartir delapan kali, sebab ia harus menyaksikan satu demi satu puteranya wafat dimartir hingga akhirnya ia sendiri mempersembahkan nyawanya juga bagi Yesus.

Santa Katarina dari Alexandria

diambil dari katakombe.org/para-kudus  Diterbitkan:  10 Agustus 2013  Diperbaharui:  18 November 2019  Hits:  25029 Perayaan 25 November   L...