Bagaimanapun juga sanjungan memang bisa menghadirkan
kegembiraan bagi yang disanjung. Sayapun, sekalipun sudah lansia dan bahkan
sebagai seorang rama, juga merasa sening karena mendapatkan sanjungan.
Barangkali pengalaman tersanjung bukan muncul dari banyak orang. Tetapi kalau
sanjungan itu disikapi seperti Bunda Maria menghadapi sebuah peristiwa, itu
sungguh bisa disadari sebagai karunia. Ketika mendapatkan kehadiran para
gembala untuk melihat bayi Yesus, menghadapi ocehan kata para gembala Bunda
Maria “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya
dan
merenungkannya” (Luk 2:19). Di sini saya akan mensharingkan pengalaman saya
ketika mendapatkan yang saya sebut saja sebagai sanjungan.
Kata Tiga Teman
Sebetulnya yang masuk dalam hati saya adalah sanjungan
yang hanya berasal dari 3 orang rama. Dua orang rama tinggal serumah bersama
saya di rumah rama sepuh yang bernama Domus Pacis Santo Petrus. Sedang seorang
lain adalah seorang rama yang masih segar dan bugar serta menjadi salah seorang
pastor paroki di Keuskupan Agung Semarang.
Dua rama serumah tampak mengagumi saya. Kekaguman
salah satu saya dengar beberapa kali dari kata-katanya kepada rombongan tamu
pengunjung Domus Pacis. Sebagai salah satu rama yang masuk di Domus karena
kondisi sakit yang membutuhkan pelayanan dan penjagaan khusus, beliau kerap
membandingkan ketika masih di paroki dan ketika sudah di Domus. “Saya melihat
Rama Bambang bisa segar penuh keceriaan padahal juga menanggung penyakit
seperti saya. Rama Bambang bisa disiplin dalam menyantap menu makan. Beliau
dengan tenang tak mengambil menu yang berbahaya untuk penyakitnya” demikian sekitar
kata-kata yang saya dengar tak hanya sekali. Bahkan salah satu perawat home
care, yang datang setiap Rabu di Domus Pacis, tak hanya sekali berkata
“Wah, kalau omong tentang Rama Bambang, beliau selalu mengatakan teladan
segalanya”.
Sedang sanjungan dari rama serumah lain saya dengar
dari Bu Rini. Bu Rini pernah terlibat omong-omong dengan rama ini. Rama ini
berkata kepada Bu Rini bahwa ketika ditetapkan tinggal di Domus Pacis, beliau
sebenarnya merasa amat tidak nyaman. “Di Domus saya akan hidup bersama dengan
Rama Bambang. Jujur saja, saya takut karena Rama Bambang itu galak. Ternyata
sesudah berada di Domus, Rama Bambang itu menyenangkan. Beliau selalu tampak
segar dan paling sehat” kata beliau yang sebenarnya juga tahu bahwa saya setiap
hari menyantap obat-obat dar dokter. Ada yang bilang bahwa rama itu dulu biasa
menolak obat rumah sakit. Yang jelas, yang saya ketahui di Domus beliau selalu
minum obat dan sering juga terdengar kata-katanya “Endi obatku?” (Mana obatku)
kalau karyawan belum menyediakan obat di bagian menjanya ketika makan bersama.
Sedang rama yang masih aktif melayani paroki berbicara
tentang saya, hal ini juga saya dengar dari Bu Rini. Beliau memang masih
terhitung muda karena belum mencapai 20 tahun menjadi imam. “Saya besok akan
seperti Rama Bambang. Sekalipun masih bisa aktif tetapi sudah masuk lansia,
beliau masuk rumah tua. Di Domus beliau masih tetap bisa terbuka melayani umat.
Bahkan hingga kini, ketika sudah tak bisa banyak keluar karena tak lagi
bermotor dan bermobil, Rama Bambang masih bisa ikut berbuat untuk komunitas. Bahkan
kadang-kadang masih bisa diminta datang ke umat” kata rama itu menurut Bu Rini.
“Katanya omongan itu juga muncul ketika beliau memimpin Misa di depan umat”
kata Bu Rini berdasarkan kisah kenalannya yang ikut Misa rama tersebut.
Karunia Derita
Mendengar kata-kata bernuansa sanjungan memang
menghadirkan rasa bangga dalam diri saya. Tetapi kalau saya menelusuri kembali
peristiwa awal dari hal yang membuat tersanjung, saya menyadari hal yang bagi
saya baru.
Ketika sadar gagap perkembangan pastoral
Sebenarnya ketika masuk Domus Pacis pada 1 Juni 2010
saya masih bisa ke sana-sini sendiri. Memang saya sudah memakai kruk untuk alat
bantu berjalan. Tetapi saya masih bisa mengendarai mobil sendiri. Padahal pada
waktu itu saya belum mengenal mobil matic. Saya mengenalnya baru pada tahun
2013. Bermotor roda 2 memang sudah kesulitan. Tetapi dengan menjadikan
modifikasi roda 3, saya masih bisa tegar kuat bermotor hingga Magelang dan
Sala. Maka, saya masih bisa banyak melayani permintaan umat untuk Misa Keluarga.
Untuk membantu Misa-misa Paroki dan atau kapel-kapel Stasi/Wilayah juga masih
bisa saya jalani. Saya juga masih diminta untuk bersedia masuk jadual pelayanan
hari besar seperti Natal dan Paskah di Paroki peminta. Bahkan memimpin
rekoleksi dan retret juga terjadi. Yang pokok, saya tidak mau mendapatkan
jadual rutin untuk Paroki atau tempat pelayanan tertentu. Rasa-rasanya bisa
menjadi seperti pastor pembantu terbatas yang bebas mengatur jadual sendiri.
Saya mendengar beberapa rama bertanya mengapa saya
tinggal di Domus Pacis. Banyak yang tahu bahwa sedikit banyak itu adalah
keinginan dan pilihan saya yang disetujui oleh Pimpinan Keuskupan, yang pada
waktu itu adalah Rm. Pius Riana Prapdi sebagai Administrator Diosesan Keuskupan
Agung Semarang. “Njenengan niku tesih isa aktif lho. Kénging napa kok pun
mlebet Domus?” (Anda bisa bisa aktif. Mengapa sudah masuk Domus?) tanya
seorang rama ketika saya membantu di Parokinya. Saya hanya tertawa dan tidak
menjawab. Apapun jawaban saya, komentar beberapa sekitar “Bambang ki cèn
nakal kok. Mung golèk senengé dhéwé” (Bambang memang nakal, Hanya cari
senang sendiri) dari beberapa teman rama. Mereka tidak tahu betapa saya sungguh
merasa sudah merasa berat untuk meneruskan kerja di Komisi Karya Misioner (KKM)
dan Karya Kepausan Indonesia (KKI) serta Museum Misi Muntilan Pusat Animasi
Misioner (MMM PAM) di Keuskupan Agung Semarang. Itulah bidang karya misi yang
saya jalani selama 27 tahun. Perkembangan hidup menggereja dan zaman sudah
mulai membuat saya gagap. Apalagi tuntutan-tuntutan institusional lebih-lebih
yang berkaitan dengan tata administratif dan akuntansi, saya sungguh
ketinggalan. Sebagai tenaga full timer karya Keuskupan, menyaksikan
perkembangan karya Paroki termasuk tuntutan-tuntutannya, saya sudah merasa akan
amat gagap kalau harus ikut menangani sekalipun hanya bertugas sebagai
pembantu.
Tinggal di Domus Pacis bagi saya memang masuk dalam
dunia kehidupan yang amat berbeda dengan dunia karya misioner yang saya jalani
27 tahun sebelumnya. Saya hidup bersama dengan para rama sepuh yang masuk
karena memang kondisi tubuh karena putusan dari Keuskupan dan memang sungguh
sudah bebas tugas pelayanan dengan datang ke umat. Memang saya mengalami 10
tahun bersama Rm. Agoeng yang memilih tinggal di Domus. Beliau memang termasuk
anggota pengurus Domus. Tetapi sebagai Ketua Komisi Komunikasi Sosial (Komsos)
Keuskupan, beliau amat sibuk dan kerap memiliki kegiatan luar Domus. Yang
jelas, dengan menjadi penghuni Domus, saya jauh lebih banyak mengalami
kesendirian di kamar. Bahkan saya mengawali tinggal di Domus dengan memegang
kata hati “Kecuali karena diminta melayani Misa, aku tak akan pergi keluar
Domus sebelum merasa nyaman tanpa kegelisahan dengan berada dalam kamar”.
Tetapi selewat 59 hari, saya bisa menghayati kenyataan dunia Domus. Bahkan
ketika masuk 5 bulan saya tiba-tiba terlibat membantu teman serumah. Dengan
persetujuan Rm. Agoeng saya mencari seorang pramurukti untuk melayani salah
satu rama yang dalam segalanya membutuhkan penjagaan dan bantuan. Maklumlah,
jumlah tenaga Domus bagi saya tidak memadahi. Ketika bulan keenam saya ikut
memulai terjadinya acara yang selama 10 tahun belum pernah terjadi. Pada
tanggal 21 Desember 2010 Domus mengadakan Pesta Ulang Tahun Imamat 2 rama sepuh
Domus dengan mengundang umat. Dari sini mulailah jaringan hubungan dengan umat.
Perhatian kepedulian umat untuk penghuni Domus makin
berkembang bahkan ketika masih di Domus Pacis Puren terjadi sajian lauk pauk 3
kali sehari datang dari keluarga-keluarga lintas Paroki yang berhenti sesudah
siaga dan pindah di Domus Pacis Santo Petrus pada tahun 2021. Domus Pacis tak
hanya menerima kepedulian umat. Domus juga menyelenggarakan pelayanan pastoral.
Dengan makin banyak umat datang, kunjungan-kunjungan rombongan umat bisa
dijadikan kesempatan mensharingkan kehidupan menjadi lansia, bahkan dengan
kondisi berkebutuhan khusus namun bisa ceria berbahagia. Tak sedikit rombongan
datang minta pelayanan Misa dan atau rekoleksi. Pastoral Ketuaan berkembang dan
kemudian terjadilah Novena Domus Pacis setiap Minggu I dari Maret sampai
November sejak tahun 2013. Novena ini selalu berisi seminar 2 jam ditutup Misa.
Banyak umat ikut terlibat jadi relawan. Pelayanan ke kelompok-kelompok lansia
di beberapa paroki terjadi dalam program Jagongan Iman yang berisi
pendalaman keagamaan.
Mulai November 2020 saya sudah tak bermotor atau pergi
mengendarai mobil sendiri. Ketajaman saya menurun. Semua derap pelayanan
pastoral amat banyak menghilang sesudah berada di Domus Pacis Santo Petrus
Kentungan. Dari hitung-hitungan jam di Domus Petrus 90% lebih saya berada di
kamar. Menghilangnya banyak aktivitas pastoral memang bermula dari terjadinya
pandemi Covid-19. Tetapi kondisi usia lebih dari 70 tahun memang membuat saya
sudah tak sekuat dulu apalagi sejak 2014 sudah selalu berkursi roda. Meskipun
demikian saya masih bisa memiliki sisa kemampuan public speaking
sehingga bisa ikut menyemarakkan penyambutan rombongan-rombongan kunjungan
dengan memandu interaksi pengunjung dengan para rama Domus. Puji Tuhan, atas
pendampingan dulu oleh Rm. Agoeng dan beberapa bantuan karyawan, saya
mendapatkan anugrah bermedia sosial. Hal ini membuat saya, yang mayoritas hidup
di kamar, bisa ambil bagian punya hubungan dengan umat umum walaupun secara
maya. Saya bisa menayangkan renungan harian, kisah santo-santa, dan peristiwa
Domus atau juga pikiran-pikiran pastoral ketuaan. Bahkan lewat hubungan maya
saya boleh ikut membantu Domus mengumpulkan dana untuk tambahan honor karyawan
dan menerima kepedulian umat untuk dana hajatan. Saya ikut ambil bagian
terjadinya hajatan untuk pesta ulang tahun imamat masing-masing rama,
peringatan arwah rama yang pernah jadi penghuni Domus, dan even-even lain
seperti menyemarakkan Malam Natal/Paskah. Bersama Bu Rini saya juga bisa ikut
mencari dana lewat penjualan kain batik.
Ketika sadar kondisi kesehatan
Sejak minggu terakhir Desember 1972 saya sudah harus
minum obat tensi setiap hari. Itu berarti sejak saya umur 21 tahun. Di usia
40an ada tambahan obat setiap hari untuk asam urat. Menu obat bertambah pada
50an tahun karena ada kelebihan kolesterol dan trigliserida. Terhadap kenyataan
seperti itu saya tenang-tenang saja. Toh menu favorit masih bisa saya nikmati.
Bagi saya menu favorit adalah gudeg, nasi goreng, bakmi baik goreng maupun
godog.
Kejutan datang pada Januari 2012 ketika saya sudah
berada di Domus Pacis. Ternyata penyakit yang ngendon di tubuh saya tambah,
yaitu diabetes. Dari beberapa kali kontrol dokter disertai periksa
laboratorium, termasuk juga pencobaan obat-obat tertentu, kadar gula selalu di
atas 200. Saya tidak pernah digelisahkan oleh hipertensi, asam urat,
kolesterol, dan trigliserida. Tetapi terhadap diabetes saya sungguh ketakutan. Dari
informasi penyakit gula bisa diam-diam menyerang organ-organ tubuh lain. Yang
paling saya takuti adalah kalau karena gula darah harus terjadi penderitaan
cuci darah. Dokter mengatakan bahwa saya harus berhenti menikmati menu-menu
favorit saya. Makan nasi pun harus pakai ukuran. Itulah yang membuat saya
berkonsultasi ke ahli gizi untuk tanya menu yang baik untuk mengendalikan gula
darah sekalipun harus tetap menerima tambah obat harian. Itulah yang membuat saya
sehari 3 kali makan sayur sebagai pengganti nasi. Pikir saya makan itu yang
paling pokok kenyang. Tidak nasi tidak apa asal kenyang. Sebetulnya saya tak
suka sayuran dan buah-buahan. Tetapi dari petunjuk ahli gizi sayuran amat baik.
Enam hari pertama saya memang merasakan tubuh lemas. Tetapi pada hari ketujuh
jadi biasa. Jujur saja, sebetulnya hingga kini saya belum bisa mengatakan enak
menyantap daun-daun sayuran. Tetapi hati saya diwarnai oleh pemahaman bahwa
“Beriman itu berarti semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan
perkembangan situasi hidup dan budaya setempat” (Arah Dasar Umat Allah
Keuskupan Agung Semarang 1996-2000). Yang jelas dengan santapan ini saya
mengalami kesegaran badan dalam keseharian. Gula darah selalu biasa tidak
menyentuh angka 200 bahkan biasa di bawah 150. Kalau ada rasa tak nyaman, saya
biasa ingat kata-kata Tuhan Yesus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus
menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut
Aku” (Luk 9:23). Bagi saya penyangkalan diri dalam makan adalah mengalahkan
selera pucuk lidah. Kalau saya bisa menang terhadap sepucuk kecil bagian tubuh,
seluruh tubuh mengalami kenyamanan tubuh. Di sini saya juga merasa diyakinkan
oleh firman “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar
biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah
dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang
mustahil bagimu” (Mat 17:20).
Karunia tak selalu mengenakkan
Bagaimanapun juga pengalaman saya ketika masuk Domus
Pacis bukanlah pengalaman enak. Ketidakenakan sesungguhnya mewarnai hidup saya.
Memang, kata-kata Tuhan Yesus yang saya ungkapkan berkaitan dengan kesehatan
tubuh, sebenarnya juga mewarnai perjalanan awal saya tinggal di Domus Pacis.
Tetapi segala ketidaknyamanan itu justru menghadirkan hidup segar, ceria, dan
tak ada rasa merana. Ternyata pilihan saya tinggal di rumah sepuh Domus Pacis
menghadirkan inspirasi bagi salah satu rama Paroki. Di hadapan beberapa rama
yang bertanya kepada saya mengapa saya tinggal di Domus walau masih segar, saya
biasa menjawab “Itu hak saya sebagai rama sepuh”. Ternyata sikap dan tindakan
saya menghadapi penyakit menghadirkan semangat ke 2 orang rama sepuh serumah di
Domus. Ketika ditanya mengapa saya tahan makan menu sekalipun tak masuk selera,
saya menjawab “Saya juga harus taat pada kehendak tubuh”.
Sebenarnya saya dalam pengalaman itu tidak berpikir
dan berkeinginan untuk menghadirkan keteladanan bagi teman-teman lain. Saya
menjalani segala ketidakenakan itu karena yakin akan mengalami keenakan
mendalam. Bahwa kemudian ada 3 orang menyatakan mendapatkan inspirasi, entah
bagaimana saya berpikir apakah yang tidak enak ini juga merupakan karunia atau
anugrah ilahi. Dari sini saya merasa mendapatkan karunia “bisa masuk rumah tua
meninggalkan hiruk pikuk menyenangkan berada di tengah kancah kegiatan umat”.
Ada juga karunia yang saya terima “Saya bisa sakit. Saya bisa hidup bersahabat
dengan penyakit”. Dalam permenungan saya yakin bahwa itu adalah karunia bisa
enak dalam ketidakenakan. Saya jadi ingat kata-kata Santo Paulus “Ada rupa-rupa
karunia, tetapi satu Roh. ..... Tetapi kepada tiap-tiap orang
dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama” (1Kor
12:4.7).