Selasa itu tanggal 9 Dersember 2025. Saya mendapatkan giliran untuk Misa Komunitas Domus Pacis Santo Petrus, rumah rama sepuh dimana saya tinggal. Ketika di pagi hari saya memperhatikan Injil, Misa biasa terjadi di sore hari, tiba-tiba saya teringat kata pepesthèn. Dalam kehidupan masyarakat Jawa ada kepercayaan bahwa Tuhan Allah sudah memberikan garis pasti dalam kehidupan seseorang. Memang, pepesthèn itu bisa menjadi hal yang menyenangkan dan membanggakan hidup seseorang, misalnya orang ditentukan menduduki jabatan penting atau kaya raya atau jadi cendekiawan. Tetapi tampaknya pepesthèn akan sangat terasa kalau itu menyangkut kehidupan tidak ideal atau menghadirkan rasa menderita. Inilah yang mewarnai persiapan saya untuk Misa Selasa 9 Desember 2025.
Pepesthèn-ku
Untuk lebih memastikan diri dalam memikirkan pepesthèn, saya membuka google. Di situ saya menemukan penjelasan : "Pepesthèn (atau pepesten) adalah istilah Jawa yang berarti ketentuan, takdir, atau kehendak Tuhan yang tidak bisa diubah, menekankan bahwa ada hal-mutlak dalam hidup yang harus diterima, namun bukan berarti pasrah tanpa usaha; ini adalah konsep filosofis tentang penerimaan takdir dan keimanan, sering diungkapkan dalam budaya Jawa untuk mengajarkan ketenangan dan makna hidup, seperti dalam pepatah "Ora ana kasekten sing madhani pepesthèn" (Tidak ada kesaktian yang bisa menandingi pepesthèn)."
Omong tentang pepesthèn dalam diri saya, yang paling saya rasakan adalah kepincangan dan lahir dalam keluarga tidak harmonis. Katanya, ketika berumur sekitar setahun saya sudah bisa berjalan. Katanya, pada usia itu saya menderita sakit panas. Saya dibawa ke seorang mantri kesehatan dan mendapatkan suntikan. Setelah itu saya tak dapat berjalan hingga umur sekitar 5 tahun. Karena yang disuntik adalah pantat kiri, kaki kiri tidak tumbuh normal sehingga pertumbuhannya tidak sebesar dan semanjang kaki kanan. Maka, pincanglah saya. Masa kanak-kanak adalah masa saya kerap jengkel karena ejekan dari teman-teman sepermainan. Masa remaja menjadi masa selalu merasa direndahkan karena kepincangan. Simpati orang lain yang kerap melarang saya mengusung atau mengangkat barang atau misalnya meja-kursi agar tak terjatuh, itu justru membuat saya sering menyesali kepincangan saya.
Yang dulu juga sungguh menggoreskan rasa amat tidak nyaman adalah hidup dalam keluarga. Katanya, saya lahir ketika bapak dan ibu sudah berpisah. Hingga remaja usia SMP saya mengalami bergantian ibu tiri. Saya mengalami seorang ibu tiri dalam keluarga hingga 3 kali. Saya berjumpa dengan ibu kandung ketika sudah menginjang kelas I SMA. Semasa kanak-kanak dan remaja saya selalu kuatir mendapatkan pertanyaan dari orang “Siapakah ibu kandungmu?” Berkaitan dengan ibu tiri pengalaman pahit saya alami terutama dari salah satu yang saya alami ketika saya berada di usia sekolah dasar. Rasa-rasanya beliau punya kepekaan hebat untuk menemukan berbagai kesalahan dan kemudian kreatif untuk membuat saya menderita badan dan hati.
Kehendak Allah?
Pepesthèn ternyata juga berarti takdir, yaitu kehendak Allah. Ada yang yakin bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah. Bahkan bencana alam akibat apapun juga termasuk pepesthèn. Dalam hal ini muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengendaki keburukan? Bukankah Tuhan Mahabaik?
Pepesthèn itu realita
Di dalam kata pepesthèn dinyatakan bahwa tidak ada kesaktian yang bisa menandinginya. Ini berarti orang dengan segala kemampuannya tak akan bisa mengubah atau menghilangkan. Katanya, dulu keluarga sudah mengupayakan kesembuhan pincang saya. Kalau bidang medis sudah tak dapat mengatasi, katanya beberapa dukun atau orang pintar sudah diminta tolong. Tetapi kepincangan tetap saya sandang. Ada kisah yang membuat tawa dari banyak teman rama yang mendengarnya. Sebagai pemeluk baru agama Katolik, saya dibaptis ketika kelas I SMA pada tahun 1967, saya diajak ke Sendang Sono. Saya diberitahu bahwa dengan kesungguhan menjalani ziarah Ibu Maria akan menyembuhkan kaki pincang saya. Maka saya berjalan dari Klangon hingga Sendang Sono berangkat naik dan kembali turun. Perjalanan ziarah itu sungguh membuat derita yang saya tahan dalam hati. Setelah beberapa lama berjalan, pergelangan kaki kiri mulai terasa sakit dan makin lama makin sakit. Tetapi saya terus bertahan sampai kembali lagi di Klangon. Derita sakit kaki kiri sungguh amat mendalam dan saya terus bertahan. Eeeee …. Ternyata pincang saya tak hilang dan bahkan dalam 3 hari saya sulit berjalan. Ada teman rama mengejek “Soalnya kamu tidak percaya. Bukankah yang bisa menyembuhkan itu imanmu”. Kepincangan menjadi kenyataan hidup saya hingga kemudian harus memakai kruk dan kini terbiasa berkursi roda.
Dalam hal keluarga yang tidak ideal, dari lahir hingga kini menjelang umur 75 tahun saya tak pernah mengalami hidup serumah dengan ibu dan bapak kandung. Terus terang, saya pada masa remaja hingga SMP selalu malu punya keluarga berganti-ganti ibu tiri. Saya pernah punya catatan dalam buku Dari Peristiwa Lama Jumpa Karunia (Penerbit Pohon Jahaya, Yogyakarta: 2020 hal. 16-18) sebagai berikut :
“Katanya, bapak saya kawin lebih dengan empat orang perempuan termasuk ibu kandung saya. Tetapi yang masuk dalam pengalaman hidup saya adalah tiga ibu tiri. Dari ketiganya hanya seorang yang menjadi istri bapak tak sampai setahun. Barangkali dengan ibu kandung saya juga tak sampai setahun. Kedua ibu tiri lain saya alami masing-masing lebih dari enam tahun. Salah satu ibu tiri dalam hati saya memang terasa sebagai sosok yang sebetulnya mengerikan. Dengan membayangkan tanpa berhadapan saja saya selalu mengalami ketakutan. Rasa-rasanya dia amat kreatif menemukan celah-celah kesalahan yang saya buat. Entah bagaimana tampaknya bapak saya selalu mempercayai dia sehingga yang terjadi adalah kemarahan dan kadang dengan disertai dengan deraan fisik atas diri saya. Si ibu tiri pun juga amat ganas suaranya dan cubitan serta théotan (cubitan besar) biasa dikonsumsikan atas diri saya. Situasi kondisi seperti ini membuat saya selalu berhati-hati menghadapi ibu tiri yang sebenarnya cantik tetapi mata yang mungkin indah toh menjadi pemancar cahaya kengerian dalam diri saya. Saya berjuang untuk selalu menata diri mengikuti pola kehendaknya. Sekalipun tidak pernah terlepas dari deraan-deraan, saya tidak pernah berhenti berjuang untuk “menyenangkannya”. Bukankah kesenangan ibu itu akan menjadi kesenangan bapak saya?”
Semua itu adalah kenyataan yang harus diterima. Saya memandang yang namanya pepesthèn atau takdir adalah realita hidup. Bagi orang beriman itu adalah kehendak Allah.
Demi kebaikan
Sebenarnya ada yang merasa terpasung dengan adanya pepesthèn. Orang bisa merasa terbelenggu oleh adanya situasi dan atau kondisi yang digariskan oleh Allah. Tetapi saya sungguh mendapatkan keceriaan karena bacaan Injil untuk Misa Selasa 9 Desember 2025 :
12 "Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? 13 Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat. 14 Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang." (Mat 18:12-14)
Tuhan Allah sungguh amat peduli pada damai sejahteranya manusia. Kaum sesat dan pendosa dicari. Bahkan ayat 14 mengatakan “Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang”. Dengan ayat ini saya mendapat keyakinan bahwa kenyataan apapun yang ada dalam hidup ini, baik itu disebut pepesthèn atau tidak, berada dalam karya ilahi yang menghendaki kebaikan dan kemuliaan manusia. Apalagi dalam diri Tuhan Yesus Kristus, Dia adalah anugerah kasih Allah yang begitu besar bagi manusia (lihat Yoh 3:16). Dari sini saya yakin apapun itu kenyataan yang di luar perhitungan dan kemampuan manusia, entah pepesthèn menyenangkan atau membuat derita, itu adalah sarana Allah menghadirkan kebaikan bagi manusia. Bahkan di dalam Kristus pepesthèn yang tampak buruk yang ternyata terjadi dalam kaum papa menderita, itu justru menjadi tanda istimewa keberadaan Tuhan di tengah kehidupan manusia (lihat Mat 25:31-46).
Sarana pertobatan
Saya menghubungkan kalimat Mat 18:14 “Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang” dengan hal yang sama dalam Luk 15:7 “Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan." Anak-anak yang hilang dalam Mat 18:14 adalah kaum pentobat. Pertobatan adalah kata-kata awal Tuhan Yesus ketika mulai tampil publik. Bertobat adalah sikap membuka hati pada Tuhan dengan segala kehendak dan karyanya. Memang, bagi kaum pendosa itu berarti berbalik dari sikap abai Tuhan ke terbuka ikut Tuhan dalam perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Berkaitan dengan pepesthèn bagi saya itu berarti menerima realita sebagai anugerah ilahi dan menjadi cahaya bagi orang lain untuk juga bisa menerima pepesthèn sebagai tanda Tuhan menampakkan kehendak kasih-Nya.
Pepesthèn sebagai anugerah
Saya memang pernah sungguh merasa menderita dengan kaki pincang. Selain harus menanggung ejekan dari teman-teman di masa kanak-kanak dan rasa dianggap lemah di masa remaja, saya juga harus menahan sakit kalau harus berjalan cukup jauh. Berjalan jauh terjadi ketika harus bersama orang lain seperti mau nonton wayang atau juga pengalaman berziarah ke Sendang Sono dan Sendang Sriningsih. Tetapi entah bagaimana semua itu tidak pernah saya keluhkan kepada orang lain sekalipun keluarga sendiri. Memang ada keluhan-keluhan, tetapi itu semua terjadi dalam hati. Pengalaman kepahitan bersama ibu tiri demikian pula, yaitu tertahan di dalam hati saya. Di luaran, ketika saya berjumpa atau ada dalam kebersamaan dengan orang lain, saya biasa tampil ceria dan bisa berkelakar.
Penglaman itu masuk dalam permenungan khusus ketika saya akan merayakan 40 tahun imamat pada Januari 2021. Dalam permenungan, saya menyadari bahwa justru pengalaman dengan pepesthèn pincang dan ibu tiri membuat saya menemukan jalan relatif seperti jalan tol untuk ikut Tuhan Yesus Kristus. Entah bagaimana saya dalam hidup menjadi cukup lekat dengan kata-kata Tuhan Yesus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Pepesthèn saya telah menjadi jalan yang membawa saya rasa-rasanya sudah akrab dengan Tuhan Yesus sejak belum menjadi Katolik. Segala tantangan dan ancaman serta berbagai penghalang sebagai imam rasa-rasanya selalu menjadi tawaran persahabatan untuk makin mesra dengan Tuhan Yesus. Kebiasaan omong batin dan tak keluh mengeluh ke orang lain, itu telah membuat saya akrab dengan relung hati. Padahal dalam hati setiap orang ada Roh bertahta. Bukankah Santo Paulus pernah berkata “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1Kor 3:16) Keakraban dengan relung hati lewat biasa omong batin pada saat ini menjadi anugerah besar sehingga saya bisa tenang dan nikmat sekalipun 90% mengalami kesendirian di dalam kamar no 1-13 di Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan.
Pepesthèn sebagai daya misioner
Sebagai lansia saya dikenal ceria penuh kegembiraan dan mudah membuat orang lain juga bergembira. Saya sadar bahwa itu benar dan bukan menjadi rekayasa tampilan. Saya yakin itu mengalir secara spontan alamiah dari kedalaman batin saya. Itu pasti berasal dari kolam sukacita anugerah kebiasaan menyangkal diri atas derita salib harian. Sebenarnya di masa kini saya juga termasuk yang setiap hari menyantap obat-obatan. Saya menderita hipertensi sejak usia 21 tahun. Setelah itu mulai umur 40an, 50an, dan 60an tahun ada tambahan penyakit-penyakit asam urat, kolesterol, trigliserida, dan dibetes. Penyakit-penyakit itulah yang membuat saya memaksa pucuk lidah saya menyantap yang membahayakan tubuh. Bahwa saya bisa melawan pucuk lidah tentu ada daya kekuatan karena penyakit-penyakit itu tertanam dalam tanah pepesthèn yang saya hayati sebagai anugerah Allah. Maka secara spontan alamiah pepesthèn itu telah menjadi daya misioner untuk mewartakan kesukacitaan sejati bagi banyak orang lain.
Domus Pacis, 11 Desember 2025






